.webp)
Belakangan, dunia maya dibuat heboh oleh video viral mahasiswa Universitas Hasanuddin diusir oleh dosen di acara pengenalan kampus gegara mengaku dirinya sebagai 'non-biner', yakni bukan laki-laki maupun perempuan ('gender neutral'). Hal ini kemudian menuai pertanyaan warganet, mengapa bisa ada istilah tersebut?
Dikutip dari Medical News Today, orang dengan identitas non-biner tidak mengkonseptualisasikan identitas gender dalam istilah biner (perempuan atau laki-laki).
Dalam sejumlah penelitian disebutkan, konsep tersebut mengacu pada gagasan bahwa identitas gender lebih berupa spektrum daripada oposisi biner. Artinya, orang non-biner mungkin merasa bahwa identitas dan pengalaman gender mereka sama sekali tidak sejalan dengan aspek biner laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut psikiater dr Lahargo Kembaren SpKJ dari RSJ Marzoeki Mahdi Bogor, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi identitas gender seseorang. Faktor pertama, yakni biologis.
"Itu pertama faktor biologis, memang secara kromosom atau secara genetik mempengaruhi seksualitasnya, kedua faktor psikologis, mental kejiwaan seseorang, pikiran, mood, dan perasaan yang bersangkutan bisa mempengaruhi," jelasnya pada detikcom, Senin (22/8/2022).
Di samping itu, kehidupan sosial juga bisa menjadi faktor penentu identitas gender. Misalnya, hubungan dengan orang-orang atau komunitas tertentu yang memiliki pemikiran dan identitas serupa bisa mendorong seseorang untuk menentukan identifikasi gendernya. Aspek emosi, nilai dan norma, sampai aspek spiritualitas juga ikut berpengaruh pada keragaman identitas seksual hingga gender.
"Misalnya seperti apa sih kaidah yang dia pegang, kenapa dia bisa netral, atau lebih maskulin, lebih feminin? Itu bisa jadi dari bacaan-bacaan yang dia dapatkan, dari pengetahuan, dari orang lain yang berbicara mungkin," jelas dr Lahargo lebih lanjut.
"Juga ajaran agama yang dia percaya itu mengizinkan nggak ya dia seperti itu, boleh nggak ya dia seperti itu," pungkasnya.
(vyp/kna)
