Sejauh ini, sudah ada satu kasus konfirmasi cacar monyet atau monkeypox di Indonesia. Selain itu, Satgas Cacar Monyet (Monkeypox) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga melaporkan adanya 23 suspek cacar monyet.
Melihat ini, Ketua Satgas Monkeypox PB IDI dr Hanny Nilasari, SpKK, menegaskan perlunya penajaman diagnosis klinis. Sebab, kasus cacar monyet ini memiliki sejumlah tanda atau gejala yang hampir mirip dengan penyakit-penyakit infeksi bakteri atau virus di kulit lainnya.
"Banyak sekali laporan-laporan yang menyatakan bahwa kasus-kasus yang suspek itu memang sebetulnya bukan kasus yang terindikasi klinis sebagai monkeypox. Jadi, manifestasi klinisnya infeksi virus lain, tapi bermanifestasi berat," jelas dr Hanny dalam konferensi pers virtual Satgas Monkeypox dan COVID-19 PB IDI, Jumat (26/8).
"Sehingga, secara diagnosis diindikasikan bahwa jangan-jangan ini adalah salah satu infeksi monkeypox. Ini adalah tugas kami dan organisasi profesi untuk menajamkan diagnosis klinis, baik di faskes tingkat 1, 2 atau 3," sambungnya.
Seperti Apa Beda Ruam Infeksi Kulit Biasa dengan Infeksi Cacar Monyet?
Dalam kesempatan sebelumnya, dr Hanny sempat menjabarkan perbedaan antara gejala cacar monyet dan infeksi biasa di kulit. Hal ini dapat digunakan tenaga kesehatan untuk memperkuat diagnosis.
Menurut dr Hanny, bintik akibat infeksi cacar monyet berbeda dengan kelainan kulit lain. Umumnya, bintik cacar monyet saling berdempetan. Ini juga disertai dengan demam lebih dari 38 derajat celcius, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan pembesaran kelenjar getah bening.
"Kelainan mirip-mirip impetigo (infeksi kulit). Tapi, cacar itu lesinya lebih dekat-dekat. Kemudian diikuti oleh gejala demam," beber dr Hanny.
"Gejala paling banyak dikeluhkan pasien monkeypox adalah demam, myalgia, sakit kepala, dia terasa tidak enak di saluran tenggorokan. Kemudian pembesaran kelenjar getah bening dan kelainan di kulit," lanjutnya.
NEXT: Lokasi Ruam Akibat Monkeypox
(sao/kna)