Inikah Penyebab Munculnya Tren 'Quiet Quitting' yang Katanya Lebih 'Sehat'?

Inikah Penyebab Munculnya Tren 'Quiet Quitting' yang Katanya Lebih 'Sehat'?

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Kamis, 01 Sep 2022 11:02 WIB
Inikah Penyebab Munculnya Tren Quiet Quitting yang Katanya Lebih Sehat?
Ilustrasi quiet quitting. (Foto: Getty Images/iStockphoto/Tirachard)
Jakarta -

Istilah 'quiet quitting' belakangan ramai dibahas warganet. Dikutip dari CNBC, tidak ada definisi pasti dari quiet quitting, beberapa orang mengartikannya sebagai batasan untuk tidak terlalu banyak mengerjakan pekerjaan tambahan, sementara yang lain memastikan istilah ini merujuk pada pergeseran prioritas untuk kehidupan pribadi, alih-alih pekerjaan.

Satu hal yang diyakini, sebagian besar setuju quiet quitting tidak berarti benar-benar meninggalkan pekerjaan. Menurut beberapa pakar, tren quiet quitting berawal dari kebiasaan burn-out akibat pandemi COVID-19 yang membuat banyak karyawan lebih banyak meluangkan waktu untuk pekerjaan.

Hal ini disebabkan sistem 'work from home' membuat pekerjaan bisa dilakukan setiap waktu, setiap saat, dan di manapun karyawan berada. Banyak di antara mereka yang menerima banyak tambahan pekerjaan dan sulit mengaturnya dengan prioritas kegiatan lain di keseharian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akibatnya, muncul ide 'quiet quitting', yang semula marak di media sosial TikTok khususnya di generasi milenial dan gen Z.

Apa Penyebabnya?

ADVERTISEMENT

Dikutip dari The Hill, sebagian besar pekerja di AS misalnya, selama pandemi selalu berkutat dengan laptop dan ponsel mereka sehingga sulit membatasi antara waktu kerja dan waktu pribadi. Pandemi COVID-19 diyakini menjadi pemicu munculnya budaya 'quiet quitting'.

"Batas antara waktu kerja dan waktu pribadi menjadi sangat kabur," menurut Daniela Wolfe, seorang pekerja sosial dan ahli keseimbangan kehidupan kerja.

"Ketika pandemi dimulai, kami semua sempat bingung dengan pekerjaan," kata Daniela. "Bagaimana pekerjaan akan diselesaikan? Dan kemudian kami menyadari, yah, jika kami bekerja dari jarak jauh, itu luar biasa."

"Orang-orang kemudian terbiasa masuk kerja lebih pagi dan memeriksa email pada pukul 6:30 setempat, di antara mereka melakukan beberapa pekerjaan dan kemudian istirahat untuk makan siang yang mudah karena itu ada di sana, tetapi mereka akan makan di meja mereka dan kemudian tidak terasa sudah larut malam sementara masih ada pekerjaan yang harus dikerjakan. Bisa sampai 12, 14, 16 jam sehari bekerja," tuturnya.

Tekanan pandemi menurutnya menyebabkan kelelahan dan mendorong banyak orang untuk mengatur ulang prioritas.

Apa Kata Psikolog?

Psikolog Lee Chambers menyebut tren quiet quitting merupakan mekanisme koping yang digunakan untuk mengatasi kelelahan dan burnout.

"Itu juga dapat terwujud ketika upaya yang cukup besar dalam suatu pekerjaan tidak dihargai dan kurangnya apresiasi yang mengubah perilaku karyawan untuk tidak lagi mengerjakan pekerjaan secara maksimal," tambahnya.

"Quiet quitting memiliki potensi untuk meningkatkan aturan batasan, serta membantu orang menjauh dari produktivitas yang terlalu melelahkan hingga berdampak pada kesehatan mental," catat Chambers.

"Ini dapat memberdayakan mereka untuk mengambil kendali atas waktu istirahat dan pertumbuhan mereka dan menciptakan ruang untuk refleksi tentang bagaimana mereka dapat menanamkan kesejahteraan ke dalam hidup mereka."

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video Lansia Juga Bisa Alami Gangguan Kesehatan Mental, Seperti Apa?"
[Gambas:Video 20detik]
(naf/vyp)
Tren Kerja Seperlunya
5 Konten
Setelah ngetren hustle culture alias budaya gila kerja, kini muncul tandingannya yakni quiet quitting alias kerja seperlunya saja. Diklaim bagus untuk mental health.

Berita Terkait