(Disclaimer: Informasi dalam artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapa pun untuk melakukan tindakan serupa. Bila Anda, pembaca, merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke pihak-pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.)
Kementerian Kesehatan RI kini tengah menyuarakan diperlukannya cover BPJS Kesehatan untuk korban percobaan bunuh diri. Menanggapi itu, pihak BPJS Kesehatan menyebut, masih diperlukan kajian untuk membuktikan bahwa aksi percobaan bunuh diri atau kecenderungan menyakiti diri sendiri disebabkan penyakit kejiwaan.
Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Ghufron Mukti, percobaan bunuh diri sebenarnya termasuk ke dalam hal yang tidak bisa ditanggung asuransi. Di samping itu, ada juga cedera akibat olahraga tertentu yang pembiayaannya tidak bisa di-cover oleh layanan asuransi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya kira perlu satu kajian. Perlu kita kaji lagi. Memang menjadi perdebatan. Yang jelas itu kalau di dalam asuransi, orang melukai diri sendiri, kemudian dia berolahraga yang sangat berisiko tinggi dan membahayakan contohnya yang terbang parasailing, itu nggak dijamin memang. Termasuk bunuh diri," ujarnya saat ditemui detikcom di media workshop BPJS Kesehatan 2022, Bali, Rabu (12/10/2022).
Namun begitu, banyak pihak menyuarakan bahwa aksi percobaan bunuh diri justru disebabkan kondisi mental atau kejiwaan tertentu. Walhasil, korban sepatutnya beroleh pertolongan dari layanan asuransi.
Maka untuk menentukan cover BPJS Kesehatan pada korban aksi percobaan bunuh diri, Prof Ghufron menegaskan, diperlukan pengkajian lebih dulu. Kajian tersebut berfokus pada kasus-kasus yang sudah ada, kemudian dicari tahu apakah benar percobaan bunuh diri disebabkan penyakit kejiwaan.
"Cuma orang kan berdebat. Bunuh diri justru karena dia sakit. Kalau nggak sakit, dia nggak akan bunuh diri. Sejauh mana, maka itu perlu penelitian," ungkap Prof Ghufron lebih lanjut.
"Tapi ini perlu penelitian dulu, perlu pengkajian dulu. Nggak boleh terus diputuskan begitu ... Dari kasus-kasus yang sudah ada kita bisa cek apakah dia sakit jiwa atau nggak. Bukan perorangan. Secara sampel, kita bisa menarik kesimpulan ini sebenarnya bagaimana," pungkasnya.
Dalam kesempatan sebelumnya, Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes drg R Vensya Sitohang, MEpid, menegaskan keterbatasan anggaran pemerintah membuat tidak semua layanan kejiwaan tertanggung. Mengingat sejauh ini BPJS Kesehatan hanya menanggung pembiayaan untuk pemeriksaan kesehatan mental.
"Saat ini, kami bicarakan bahwa kami sedang mendiskusikan lebih teknis lagi agar itu memang bisa ditanggung," beber Vensya saat ditemui di Kantor Kementerian Kesehatan, Rabu (5/10/2022).
"Karena itu bagian daripada masalah kesehatan jiwa, sampai ke gangguan, sampai seseorang itu memutuskan mengakhiri hidupnya, itu kan masuk di dalam rangkaian ini," pungkasnya.











































