BPOM Pidanakan PT Yarindo Terkait Cemaran EG-DEG, Ini Daftar Kesalahannya

BPOM Pidanakan PT Yarindo Terkait Cemaran EG-DEG, Ini Daftar Kesalahannya

Sarah Oktaviani Alam - detikHealth
Senin, 31 Okt 2022 15:05 WIB
BPOM Pidanakan PT Yarindo Terkait Cemaran EG-DEG, Ini Daftar Kesalahannya
BPOM pidanakan PT Yarindo terkait cemaran EG-DEG (Foto: Khadijah Nur Azizah/detikHealth)
Jakarta -

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Penny K Lukito mengumumkan hasil temuan penindakan industri farmasi yang memproduksi obat tidak memenuhi standar, yakni PT Yarindo Farmatama dan Universal Pharmaceutical.

Dalam pemeriksaannya ke PT Yarindo Farmatama di Banten, Penny menemukan beberapa pelanggaran dalam produksi obat sirup. Salah satunya adalah mengubah bahan baku obat (BBO) yang tidak memenuhi syarat.

"Kesalahan pelanggaran PT Yarindo Farmatama dalam hal ini adalah mengubah bahan baku dengan menggunakan bahan baku yang tidak memenuhi syarat. Dengan cemaran etilen glikol (EG) di atas ambang batas aman, hingga produk tidak memenuhi persyaratan," kata Penny dalam konferensi pers, Senin (31/10/2022).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Produk PT Yarindo yaitu Flurin DMP Sirup terbukti menggunakan bahan baku propilen glikol yang mengandung etilen glikol sebesar 48 mg/ml, di mana syaratnya harus kurang dari 0,1 mg/ml," tegas dia.

Beberapa pelanggaran yang dilakukan PT Yarindo Farmatama dalam produksi obat sirup yakni:

ADVERTISEMENT
  • Mengubah bahan baku obat dengan bahan baku yang tidak memenuhi syarat
  • Tidak melaporkan apabila dilakukan perubahan bahan baku obat
  • Tidak melakukan kualifikasi pemasok supplier bahan baku obat (BBO)
  • Tidak melakukan metode analisa untuk pengujian bahan baku sesuai dengan kompendia referensi yang terkini

Sebagai upaya tindak lanjut, BPOM RI sudah mencabut izin edar maupun produksi obat sediaan oral dan cairan. Kedua industri farmasi yang melakukan pelanggaran berdasarkan pemeriksaan, diduga melakukan tindak pidana mengacu pada UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

"Dengan ancaman pidana 10 tahun dan denda paling banyak 1 miliar," sebut Penny.




(sao/up)

Berita Terkait