Melihat Lebih Dekat Melukat di Bali, Proses Healing Melepas Trauma

Mental Health

Melihat Lebih Dekat Melukat di Bali, Proses Healing Melepas Trauma

Vidya Pinandhita - detikHealth
Rabu, 16 Nov 2022 06:00 WIB
Melihat Lebih Dekat Melukat di Bali, Proses Healing Melepas Trauma
Tradisi melukat untuk menyembuhkan trauma (Foto: Vidya Pinandhita/detikHealth)
Jakarta -

Membersihkan trauma menggunakan basuhan air, kira-kira begitu singkatnya ritual 'Melukat' asal Bali dipahami masyarakat. Lebih dalam dari itu, melukat atau yang juga disebut 'purifying' sebenarnya diartikan sebagai pembersihan jiwa dan pikiran untuk membantu jiwa melepaskan trauma.

Dewi Ayu Sri Agung, atau yang biasa disapa sebagai ibu 'Desak Akeno' adalah seorang 'sang pembantu penyembuhan' yang memberikan prosedur melukat untuk orang-orang yang menginginkan. Ia melayani klien-klien di tempat melukat Tri Desna, berlokasi di Ubud, Bali.

Ia meyakini, kemampuannya menyembuhkan orang-orang dengan melukat sebenarnya sudah dimiliki sejak kecil pemberian leluhur. Seiring pendewasaannya, ibu Desak kemudian diberi kepercayaan untuk meneruskan kiprah sang pembimbing, memberikan penyembuhan untuk orang-orang yang ingin memulihkan diri dari trauma.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Praktisi melukat di Ubud, Dewi Ayu Sri AgungPraktisi melukat di Ubud, Dewi Ayu Sri Agung 'Desak Akeno' Foto: Vidya Pinandhita/detikHealth

"Di Bali itu turun-temurun, dari zaman dahulunya untuk pembersihan jiwa dan pikiran. Pembersihan dari dalam diri. Membersihkan pikiran, membersihkan jiwa, dan juga menenangkan," ungkapnya saat ditemui detikcom di Ubud, Bali beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENT

"Kalau saya di sini saya tambahkan dalam sesi melukat itu saya juga membantu kejiwaan, pelepasan trauma. Digabung dengan psikologinya. Saya kasih tuntunan atau pun arahan secara konsultasi, setelah itu baru saya mengadakan sesi melukat," sambung Desak.

Setibanya di lokasi melukat, klien dipersilakan bersantai sembari menikmati secangkir teh rosella hangat. Selanjutnya, klien akan diajak obrol dulu oleh ibu Desak. Setelah diberi pemahaman, barulah klien menjalani prosesi melukat. Bagi Desak, kunci nomor satu adalah kemauan untuk ikhlas, memaafkan diri sendiri dan masa lalu. Jika sudah demikian, barulah klien pulih dari trauma.

"Setelah dia ikhlas, lepaskan, baru dibersihkan melalui melukat agar setelah menapak ke depannya itu dia bagaikan gelas kosong. Setelah melukat, melepaskan pikiran negatif, perkataan apa pun kita maafkan diri kita kenapa kita bisa berpikir negatif atau apa pun, baru kita mulai langkahnya dengan langkah baru," jelasnya.

"Dengan mengisi hal-hal positif dalam diri. Di sanalah ketika kita mulai mengisi positif dalam diri, otomatis kita kehidupannya akan baik sekali," imbuh Desak.

NEXT: Memulihkan diri dari trauma

Sebelum memulai pembasuhan, klien dipersilakan berdoa lebih dulu sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Setelah mengobrol, klien bisa mengikuti prosesi melukat yakni dibasuh menggunakan air yang telah berisi doa dan mantra, juga bunga-bungaan yang melambangkan keharuman pada pikiran dan perkataan.

"Air itu powerful sekali. Air membersihkan segalanya. Tanpa air, kita tidak bisa hidup. Penyembuhan yang terhebat adalah air. Sekotor apa pun, kalau digosok pakai air, pasti bersih. Tubuh sekotor apa pun, sekotor apa pun digosok menjadi bersih. Jiwa sekotor apa pun, dikasih energi kekuatan air, tenang dia. Coba ketika stres, duduk di samping air. Lama kelamaan tenang. Karena energinya yang masuk ke dalam jiwa," jelas Desak.

Memulihkan Diri dari Trauma

Basuhan air dalam prosesi melukat dipercaya membasuh trauma. Desak menjelaskan, trauma dipahaminya sebagai ingatan tentang suatu kejadian yang masih menimbulkan rasa sakit jika diingat-ingat. Jika trauma sudah benar-benar sembuh, seseorang bisa tersenyum meski sedang teringat tentang kejadian sepahit apa pun.

"Kita ingat satu peristiwa, selalu ada dalam pikiran. Umpamanya kita pernah kehilangan teman, selalu ada dalam pikiran dan selalu sedih setiap kita mengingat. Itu artinya belum lepas. Kalau kita ingat dan kita bisa tersenyum seperti tidak ada efek, itu baru sudah melepaskan," jelas Desak.

"Kan ada peristiwa yang setiap kita ingat kita sakit, itu masih trauma itu. Sekecil apa pun, itu trauma. Ketika kita mengingat sesuatu yang pernah terjadi dalam hidup kita dan kita masih mengingat dalam keadaan masih perih, itu masih trauma. Tetapi kalau kita mengingat dan tersenyum dari hati, itu artinya kita sudah mempelajari kejadian itu," pungkasnya.

NEXT: Trauma dari sudut pandang psikolog, ibarat luka lama yang menganga

Ditemui dalam kesempatan terpisah, psikolog klinis dari Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia Annelia Sari Sani memberikan penjelasan senada terkait apa itu trauma. Sejalan dengan keyakinan Desa, Anne menjelaskan trauma yang tidak dipulihkan bisa berdampak pada kondisi fisik (biologis), psikologis, hingga hubungan dengan lingkungan sosial (psikososial).

"Trauma itu semua luka yang timbul dalam diri kita baik luka fisik maupun luka batin. Trauma itu tidak selalu harus terjadi karena kejadian katastropik. Terus-terusan diledekin gendut dari kecil sampai dewasa itu juga luka, itu akan menjadi trauma. Terus-terusan dikatakan tidak mampu dan tidak pintar dari kecil hingga dewasa, itu juga akan menimbulkan trauma," jelasnya saat ditemui detikcom di Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

"Jadi kita harus menerima, mengakui bahwa trauma itu sifatnya sangat personal. Suatu kejadian yang membuat orang lain tidak traumatis tapi buat orang berbeda itu bisa traumatis sekali. Jadi memvalidasi bahwa trauma sangat mungkin terjadi," imbuhnya.

Anne meyakini, penanganan trauma baik dari ranah psikologis, medis, hingga budaya layaknya prosesi melukat bisa berkontribusi memulihkan seseorang dari luka trauma. Apalagi mengingat, jumlah tenaga kesehatan untuk penanganan kondisi mental di Indonesia sangat terbatas. Anne menyinggung, jumlahnya tak mencapai 1 persen dari populasi Indonesia. Dengan begitu, pemulihan trauma dengan pendekatan apa pun akan amat membantu.

Terlebih Anne menegaskan, trauma yang tidak kunjung sembuh akan membatasi kemampuan seseorang. Maka dari itu, upaya pemulihan diri dari luka trauma sebenarnya sangat penting.

"Trauma itu sifatnya disabling, menyebabkan kita yang tadinya able (mampu) menjadi tidak berdaya. Makanya trauma itu harus amat sangat disadari, awareness tentang trauma itu harus sangat ditanamkan, sehingga kita bisa mengurangi pain and suffering-nya, mencari cara untuk tetap kembali bisa resilient, membal balik menjadi tangguh. Karena betapa sebenarnya dampak trauma, masalah kesehatan mental ini kemana-mana," jelas Anne.

Trauma yang tidak pulih juga membuat seseorang lebih rentan terhadap hal-hal di sekitarnya. Meski suatu pembicaraan atau tindakan seseorang sebenarnya bersifat sepele, jika hal itu berkenaan dengan kejadian yang membuat trauma di masa lalu, seseorang dengan trauma akan merasa sakit layaknya ada luka lama dibuka kembali.

"Ibaratnya kalau seseorang nggak trauma fisik misalnya luka, kalau kita nggak ada luka, kecolek aman-aman saja kan. Tapi kalau di situ ada luka dan kecolek, sakitnya setengah mati," beber Anne lebih lanjut.

"Sama, trauma psikologis juga seperti itu. Kalau kita tidak mengalami trauma psikologis, ada colekan masalah psikososial mungkin buat kita aman saja. Tapi karena kita punya luka, punya trauma yang tidak sembuh, colekan yang 'begitu doang' buat orang-orang tersebut bisa mengorek, menyebabkan luka yang mulai sembuh atau ada korengnya menjadi kebuka lagi. Jadi luka besar menganga," pungkasnya.

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Video: PDSKJI Sebut Daya Kognitif Lemah Buat Perilaku Remaja Makin Agresif"
[Gambas:Video 20detik]
(vyp/up)

Berita Terkait