Menkes Buka Suara soal Pro-Kontra RUU Kesehatan Omnibus Law

Menkes Buka Suara soal Pro-Kontra RUU Kesehatan Omnibus Law

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Senin, 28 Nov 2022 08:05 WIB
Menkes Buka Suara soal Pro-Kontra RUU Kesehatan Omnibus Law
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta -

RUU Kesehatan Omnibus Law yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 menuai pro dan kontra. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memastikan, perubahan kebijakan dan aturan yang dimuat dalam RUU Kesehatan demi transformasi besar sistem kesehatan nasional.

Menkes membantah tudingan terkait wewenang yang sepenuhnya di bawah kendali Kemenkes RI, tanpa melibatkan sejumlah pihak lain termasuk organisasi profesi. Semata-mata, keinginan transformasi melalui RUU Kesehatan untuk perbaikan layanan kesehatan masyarakat.

"Posisi pemerintah landasannya dua, apa yang kita lakukan harus meningkatkan kualitas dan layanan ke masyarakat, bukan baik untuk menteri-nya, organisasi profesi-nya, kolegium-nya, individu, industri, konglomerat, RS, bukan, tapi apa yang kita tulis nanti harus benar-benar baik ke masyarakat," terang Menkes dalam diskusi Forum Komunikasi Ikatan Dokter Indonesia yang disiarkan @idiwilriau, Minggu (27/11/2022).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi kalau nanti dalam diskusi, ternyata idenya yang baik untuk masyarakat dari DPR, diambil dari DPR, jika dari IDI diambil dari IDI, atau dari kolegium, KKI, ya kita ambil, yang penting kita diskusi, mana yang paling baik untuk masyarakat," sambungnya.

Salah satu yang ingin direformasi adalah jumlah SDM dokter di Indonesia. Budi menyebut, dari 92 fakultas kedokteran, hanya 20 di antaranya yang memiliki prodi spesialis.

ADVERTISEMENT

Membuka Fakultas Kedokteran melalui ketentuan UU saat ini menurut Menkes cukup rumit, melewati beberapa tahapan, bukan berada di Kemenkes maupun Kemendikbud RI.

"Oh nggak bisa pak, itu UU sudah ditarik wewenangnya, bukan ke Menteri Pendidikan, ke Konsil Kedokteran Indonesia, kejar ke Konsil, Pak Putu keluarin dong itu izinnya, nggak bisa Pak mesti ke kolegium, kalau kolegiumnya nggak keluarin, nggak keluar tuh," cerita dia.

"Harusnya nggak gitu, that is the right fo the government to govern. Contoh yang lain ada radiolog, aku ditanyain kenapa STR nggak keluar, aku tanda tangan deh biar cepat, tapi aku baru tahu menterinya nggak bisa tanda tangan STR, wewenang-nya nggak dari bapak, adanya di konsil, konsil keluarin dong, konsil mesti dapat dari organisasi profesi, organisasi profesi ada dua, gimana akhirnya dikumpulkan, tapi begitu dikumpulin juga rame kan," sambungnya.

Lihat juga video 'Kata Menkes soal Heboh 'BPJS Orang Kaya'':

[Gambas:Video 20detik]




Pentingnya perubahan atau transformasi kesehatan untuk memaksimalkan jumlah dokter dan dokter spesialis juga digambarkan Menkes melalui data kematian jantung pada anak. Setiap tahun, 50 ribu anak lahir dengan kematian jantung bawaan.

Dari total tersebut, 40 persen di antaranya memerlukan operasi yakni sekitar 20 ribu kasus. Sementara kapasitas penanganan kondisi tersebut yakni berada di 6.000, 14 ribu anak lain faktanya tidak bisa selamat.

"77 tahun merdeka tapi 14 ribu bayi meninggal setiap tahun karena nggak punya tenaga dokter spesialis yang cukup," kata Menkes.

"Kapasitas kita 6.000, loh terus sisanya gmn 14 ribu kan harus operasi, nih jawaban seorang profesor senior jantung, katanya itu seleksi alam," tutur dia.

Strategi lain yang diusung Menkes untuk meningkatkan jumlah dokter dan dokter spesialis yakni kemudahan adaptasi dokter lulusan luar negeri berpraktik di Indonesia. Ia mengaku sempat mendapatkan usulan untuk mengkaji kembali kebijakan tersebut, khususnya pada dokter lulusan Filipina dan India lantaran standarnya dinilai rendah.

"Ini juga ramai, jadi karena kurang, aku nyari dari luar ngeri ini, aku pengen bawa tuh dokter diaspora dari luar negeri, karena banyak dari sana, terus dibilang katanya mutunya jelek pak Filipina sama India," terang dia.

"Tapi setelah saya lihat ada juga dari Jerman, ada juga dari Jepang, ada yang lulusan Harvard sudah kerja di Mayo Clinic, Cleveland Clinic, kalau yang Mayo Clinic, Cleveland Clinic, ya ngapain sih diplonco mesti ditaruh dulu tahunan, ya harusnya mereka langsung saja, kaya gitu-gitu yang ingin saya rapihkan," bebernya.

Halaman 2 dari 2
(naf/up)

Berita Terkait