Disinggung di Klarifikasi Arawinda, Ini Kata Psikolog soal Open Relationship

Disinggung di Klarifikasi Arawinda, Ini Kata Psikolog soal Open Relationship

Vidya Pinandhita - detikHealth
Kamis, 01 Des 2022 18:30 WIB
Disinggung di Klarifikasi Arawinda, Ini Kata Psikolog soal Open Relationship
Penjelasan psikolog tentang open relationship, disinggung dalam klarifikasi Arawinda terkait kasus perselingkuhan. Foto: Dok. Instagram
Jakarta -

Terkait kasus perselingkuhan yang menyeret nama pemain film, Arawinda, pihak manajemen melayangkan klarifikasi yang menyebut talent-nya adalah korban love bombing dan manipulasi. Dalam unggahan di Instagram-nya juga disinggung, sempat ada 'open relationship' dalam kasus tersebut.

"Pria tersebut juga mengaku bahwa rumah tangganya sudah chaos hampir 5 bulan dan berpisah dengan istrinya hampir 1 bulan dan mereka berdua sepakat melakukan open relationship yang membebaskan satu sama lainnya untuk mencari pasangan lain," tertera dalam unggahan KITE Entertainment, Selasa (29/11/2022).

Terlepas dari nama yang ada pada kasus tersebut, psikolog klinis dan founder pusat konsultasi Anastasia and Associate, Anastasia Sari Dewi, menjelaskan bahwa secara umum, konsep open relationship tidak diwajarkan dalam ranah psikologi. Pasalnya, hubungan seharusnya mengandung tiga komponen yakni keakraban, hasrat, dan komitmen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau dalam psikologi ditekankan, relationship yang sehat memiliki tiga komponen (yaitu) keakraban, hasrat, dan juga komitmen. Kalau salah satu tidak ada atau salah satu sedikit, itu bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi kedua belah pihak atau salah satu. Komitmen, hasrat, dan juga keakraban," ungkap Sari pada detikcom, Rabu (30/11/2022).

Di samping itu, menjalani open relationship alias berhubungan tanpa komitmen dan terbuka untuk kehadiran pasangan lain bisa memicu sederet risiko. Pertama, yakni timbul ketidakpuasan dan ketidaknyamanan baik pada kedua belah pihak dalam hubungan, atau pada satu pihak yang terpaksa menolerir keinginan pasangannya untuk melakukan open relationship.

ADVERTISEMENT

"Demi menjaga stabilitas hubungan, demi tetap bisa memiliki status tertentu, mereka memilih untuk bertoleransi terhadap keinginan pasangannya. Ini suatu saat bisa menimbulkan penderitaan psikologis bagi pihak yang bertoleransi atau yang kedua juga bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Seperti bom waktu," jelas Sari.

Efek selanjutnya, yakni timbul perasaan tidak berharga pada pihak yang terpaksa membiarkan pasangannya menjalani open relationship.

"Misalkan idenya datang dari yang perempuan, sedangkan yang laki-laki sebenarnya tidak setuju. Laki-laki ini bisa timbul rasa meragukan diri sendiri pada akhirnya terkait kepuasan seksual mungkin, dan lain sebagainya sehingga dia bisa terpengaruh harga dirinya. Itu yang kedua," jelas Sari lebih lanjut.

Lebih lagi, open relationship juga bisa memunculkan konflik dan kontroversi lebih besar. Misalnya, jika open relationship tersebut diketahui oleh masing-masing pihak keluarga pada pasangan yang sudah menikah.

Ditambah, jika pasangan tersebut sudah memiliki anak, terdapat risiko anak merasa sedih dan bingung perihal konsep relationship. Pasalnya, hubungan yang dijalin kedua orang tuanya berbeda dengan konsep hubungan sebagaimana yang anak lihat pada kehidupan sehari-hari dari orang lain.

Halaman 2 dari 2
(vyp/kna)

Berita Terkait