BKKBN Singgung Potensi 'Resesi Seks' RI, Apa Pemicunya?

BKKBN Singgung Potensi 'Resesi Seks' RI, Apa Pemicunya?

Hana Nushratu - detikHealth
Rabu, 07 Des 2022 12:00 WIB
BKKBN Singgung Potensi Resesi Seks RI, Apa Pemicunya?
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Sejumlah negara di dunia seperti Korea Selatan, Jepang, hingga Amerika Serikat dihantui 'resesi seks'. 'Resesi seks' berkaitan dengan menurunnya gairah seseorang untuk melakukan hubungan seks, menikah, hingga mempunyai anak.

Lantas bagaimana dengan RI? Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo, SpOG menuturkan Indonesia memiliki kemungkinan mengalami 'resesi seks' lantaran usia pernikahan penduduk cenderung mundur.

Namun, 'resesi seks' di Indonesia memakan waktu yang cukup lama. Sebab, sebagian besar penduduk Indonesia masih fokus pada tujuan menikah untuk memiliki keturunan atau pro kreasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Potensi itu ada, ada ya, tapi sangat panjang, karena kan gini usia pernikahan semakin lama kan semakin meningkat. Pernikahan loh bukan seks," ungkap Hasto saat ditemui di Hotel Shangri La, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (6/12/2022).

Faktor Risiko Orang Enggan Menikah

Meskipun 'resesi seks' belum sepenuhnya menghantui Tanah Air, namun hal tersebut perlu dikhawatirkan karena menyangkut demografi suatu negara. Dikutip dari The Atlantic, berikut adalah 5 pemicu 'resesi seks'

ADVERTISEMENT

1. Generasi muda menemukan kesenangan dengan cara lain

Salah satu faktor terjadinya 'resesi seks' yaitu kaum muda yang menemukan kesenangannya tersendiri dalam memenuhi kebutuhan seksualnya, tanpa melibatkan pasangan.

Sebuah laporan mencatat, pada 1992 hingga 1994 fenomena masturbasi di Amerika Serikat (AS) berkembang pesat. Persentase pria yang melakukan
masturbasi pada minggu-minggu tertentu juga meningkat dua kali lipat hingga 54 persen. Sementara itu, persentase wanita yang melakukan masturbasi juga naik hingga lebih dari tiga kali lipat sebanyak 26 persen.

Di Jepang, sejumlah penduduknya memandang seks dengan pasangan sebagai mendokusai atau 'membosankan'. Dilaporkan The Economist, Alih-alih
berhubungan seks bersama pasangan, sejumlah pria memilih untuk mengunjungi toko onakura. Di sana, mereka membayar untuk onani di depan
karyawan wanita toko tersebut.

Dengan berkembangnya zaman, orang-orang bisa mengakses konten pornografi di mana saja dan kapan saja. Maka dari itu, mereka merasa 'puas'
dengan menonton konten pornografi.

NEXT: Generasi Muda Tidak Bisa Berkomitmen dalam Hubungan Jangka Panjang

2. Generasi muda tidak bisa berkomitmen dalam hubungan jangka panjang

Dibandingkan memikirkan pernikahan yang bersifat jangka panjang, kaum muda di AS memilih untuk fokus pada dirinya sendiri. Mereka cenderung meluangkan waktunya untuk kegiatan akademik dan karir alih-alih menikah.

3. Masalah finansial

Masalah finansial menjadi salah satu faktor adanya 'resesi seks'. Pria yang berpenghasilan rendah atau tidak bekerja cenderung tidak melakukan aktivitas seksual. Selain itu, mempunyai anak juga disebut menantang karena ada biaya masa depan yang tidak murah.

4. Anggapan 'seks itu menyakitkan'

Menurut studi yang ditulis ilmuwan seks University of Indiana Debby Herbenick pada 2012, 30 persen wanita mengalami rasa sakit saat melakukan hubungan seks vaginal (intercourse) dan 72 persen mengalami sakit saat berhubungan seks anal. Meskipun data historisnya langka, pakar seks percaya bahwa seks yang menyakitkan sedang meningkat dan juga dipengaruhi oleh pornografi.

5. Tingginya tuntutan pekerjaan

Faktor resesi seks lainnya adalah tingginya tuntutan pekerjaan. Di Cina, pegawai dituntut bekerja 9-9-6. Artinya, pegawai harus bekerja dari pukul 9
pagi hingga 9 malam dengan 6 hari kerja.

Waktu libur yang hanya sehari membuat mereka merasa lelah dan kehilangan gairah seksual. Maka dari itu, mereka memilih untuk beristirahat dibandingkan melakukan aktivitas seksual.

Antisipasi RI Hadapi 'Resesi Seks'

Hasto menyebut Indonesia mempunyai program fertilitas melalui BKKBN yang membantu dan memberikan layanan untuk program kehamilan banyak orang. Ia mengungkap zero growth atau nihil kelahiran baru dilaporkan sejumlah wilayah seperti Jawa Timur hingga Jawa Tengah. Namun angka fertilitas di beberapa wilayah bisa menutupi ketinggalan tersebut.

"Iya harapan saya kabupaten sebelahnya masih 2,1 gitu, jadi kalau di Indonesia kan masih banyak itu cadangan provinsi dengan fertilitas tinggi, NTT itu 2,9, Aceh itu 2,7, Sumatera Barat 2,7, Sumatera Utara 2,5 lebih, jadi kita punya kantong-kantong bayi," ungkap Hasto.

Halaman 2 dari 2
(hnu/kna)

Berita Terkait