Heboh Tweet 'Jangan Nikah Buru-buru', BKKBN Sentil Pentingnya Siap Mental

Heboh Tweet 'Jangan Nikah Buru-buru', BKKBN Sentil Pentingnya Siap Mental

Vidya Pinandhita - detikHealth
Rabu, 21 Des 2022 17:31 WIB
Heboh Tweet Jangan Nikah Buru-buru, BKKBN Sentil Pentingnya Siap Mental
Penjelasan BKKBN perihal pentingnya kesiapan mental sebelum menikah. Foto: iStock
Jakarta -

Belakangan, warga Twitter ramai memperbincangkan wejangan 'jangan nikah buru-buru'. Obrolan tersebut berawal dari sebuah cuitan yang menyebut, orang-orang yang sudah menikah umumnya justru menyarankan orang lain untuk tidak menikah buru-buru.

Di antara obrolan yang beredar di linimasa, muncul cuitan bahwa seseorang idealnya menikah di atas usia 25 tahun. Pasalnya di usia tersebut, perkembangan otak sudah cukup matang sehingga kelak ada masalah dalam hubungan pernikahan, bisa dihadapi dengan baik.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo, SpOG menjelaskan, kematangan perkembangan otak umumya diukur dari volume otak. Sebenarnya, 80 persen volume otak sudah terbentuk di usia balita.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun terkait umur ideal untuk menikah, dr Hasto menjelaskan, kaitannya adalah dengan tingkat kedewasaan dan kematangan mental.

"Sebetulnya secara biologis, kedewasaan. Jadi kalau kematangan otak itu kan diukur dari volume. Kalau volume otak itu kan 80 persen sudah tercapai usia balita," jelasnya pada detikcom, Senin (19/12/2022).

ADVERTISEMENT

"Tapi sisanya dia saat balita sampai di usia anak-anak kemudian terpenuhkan, laki-laki usia 20 tahun pun otaknya sudah secara volume sudah cukup. Tetapi kedewasaan ini beda, ini mampu memaklumi orang lain kan beda. Mampu menahan diri. Punya toleransi. Itu betul-betul kedewasaan," imbuh dr Hasto.

dr Hasto juga menjelaskan, tingkat kedewasaan seseorang memepengaruhi kemampuannya dalam menghadapi masalah dalam pernikahan. Terlebih ditegaskannya, kebanyakan kasus perceraian dipicu justru oleh masalah-masalah kecil yang terjadi terus-menerus.

"Sekarang ini kan angka perceraian juga tinggi. Perceraian itu lebih disebabkan konflik-konflik kecil yang sifatnya terus-menerus terjadi yaitu namanya konflik kronis. Kronis itu kan berlangsung lama, terus-menerus itu namanya kronis," ungkap dr Hasto.

"(Perceraian) perkawinan itu umumnya karena kronis faktor yang terus-menerus konflik dan kekurangdewasaan sehingga kawin-kawin pada usia terlalu muda kemudian laki-laki masih belum dewasa untuk mengasuh istrinya ini menjadi sumber utama perceraian juga," pungkasnya.

NEXT: Seberapa menantangnya kehidupan setelah pernikahan?

di Hasto menjelaskan, pernikahan pada dasarnya mempertemukan dua individu dengan latar belakangan dan kebiasaan yang amat berbeda. Untuk itu, diperlukan perjuangan luar biasa agar suami-istri bisa saling menerima, bertoleransi, dan mengasuh.

"Ini luar biasa. Karena totally kalau cuma teman di kampus, itu kan toleransi cuma di kampus atau di sekolah, atau di tempat kerja. Ini kan (pernikahan) 24 jam di dapur, di sumur, kasur semua bertoleransi sikap-sikap itu. Inilah yang menurut saya, kalau orang menikah itu punya niat kuat untuk memaklumkan orang lain di tengah kehidupannya. Itu memang akan terasa berat," ungkapnya.

Seiring itu menurut dr Hasto, pasangan dalam pernikahan terikat baik secara emosi bahkan seks. Untuk itu, penting untuk suami-istri mengusung dan menjalani visi bersama.

Halaman 2 dari 2
(vyp/naf)

Berita Terkait