Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mengeluarkan izin penggunaan darurat (EUA) vaksin vaksin Comirnaty Children buatan Pfizer-BioNTech. Vaksin tersebut ditujukan untuk anak usia 6 bulan hingga 11 tahun.
Namun, sayangnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyebut vaksin tersebut berbayar dan hanya bisa didapatkan di fasilitas kesehatan swasta. Hal ini menimbulkan pandangan pro dan kontra.
Epidemiolog Griffith University dr Dicky Budiman, M.Sc.PH menyayangkan keputusan tersebut. Terlebih, anak-anak merupakan kelompok rentan.
"Kalau bicara dalam konteks kedaruratan kesehatan belum dicabut, ya jangan berbayar," ujar Dicky dihubungi tim detikcom, Jumat (30/12/2022).
Meski saat ini vaksin CoronaVac-Sinovac masih tersedia dan gratis, Dicky menganggap vaksin ini belum cukup memenuhi kebutuhan anak Indonesia. Hal ini dikarenakan vaksin Sinovac hanya bisa didapatkan oleh anak berusia 6-11 tahun dan bukan untuk 5 tahun ke bawah.
"Jadi sekarang dengan status yang masih gawat kedaruratan kesehatan, itu masih tanggung jawab pemerintah," kata Dicky.
Lain halnya jika booster, Dicky menganggap pemerintah harus mensubsidi vaksinasi anak minimal 2 dosis. Setelah itu, tanggung jawab pemerintah dianggap selesai.
Lebih lanjut, mayoritas anak-anak di Indonesia terlahir dari keluarga menengah ke bawah. Apabila vaksin Pfizer anak berbayar, Dicky menganggap hal tersebut akan 'membebani' keluarga dari kelompok tersebut.
"Saya tidak sepakat (vaksin berbayar) dengan berbagai pertimbangan," ungkapnya.
Sementara itu, epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono menganggap vaksin Pfizer berbayar dikarenakan Indonesia sudah tidak bisa mendapatkan hibah dari kerjasama bilateral. Oleh sebab itu, ia menganggap vaksin anak tidak wajib.
"Kalau memang mau diberikan tidak wajib kalau ada anak orang tua yang harus divaksinasi ya harus berbayar," kata Pandu dihubungi tim detikcom, Jumat (30/12/2022).
Pandu menyebut, anak-anak tidak menjadi prioritas utama untuk percepatan vaksin. Sebab, pasien COVID-19 kebanyakan berasal dari kelompok lansia.
"Kita kan tidak melihat tingkat kematian pada anak. Yang mati kebanyakan orang tua," tutur Pandu.
Pandu menegaskan, bukan berarti pemerintah tidak peduli soal kesehatan anak. Menurutnya, ada vaksin anak yang jauh lebih penting dibandingkan vaksin COVID-19.
"Bukan berarti Indonesia tidak memprioritaskan. Tetapi kan vaksinasi dasar yang lain yangjauh lebih penting," ujar Pandu.
"Bukan (vaksin) COVID, vaksinasi polio, vaksin DBD (re: demam berdarah dengue) yang jauh lebih mematikan," lanjutnya.
NEXT: Vaksin Pfizer untuk Anak Berbayar