Informasi yang salah tentang tuberculosis (TBC) sering membuat pengidapnya merasa terkucilkan. Stigma negatif yang berkembang menggambarkan TBC sebagai penyakitnya orang susah.
Belum lagi, pasien harus menghadapi proses pengobatan yang tidak mudah. Berbagai jenis obat harus diminum secara rutin, setiap hari selama berbulan-bulan.
Presenter sekaligus wartawan senior Najwa Shihab mematahkan anggapan miring bahwa TBC hanya menyerang kalangan tertentu. Ia menceritakan pengalamannya hidup berdampingan dengan TBC yaitu kerabat dekatnya.
"Isu TBC ada kedekatan emosional dengan saya. Dua lingkungan terdekat saya penderita TBC. Yang satu adalah kerabat dekat sepupu. Usia produktif 35 tahun, perempuan aktif, ke kantor, mbak-mbak SCBD, hobi pilates," ujarnya dalam acara Free TBC at Workspaces di Sukabumi, Jawa Barat (12/1/23).
"Jadi kan ada stigma nih, seolah-olah penderita TBC adalah kalangan tertentu di pemukiman kumuh yang hidupnya susah dan sebagainya," lanjutnya.
Stigma negatif yang membayangi pengidap TBC juga berdampak pada pengobatan. Karena merasa malu seolah-olah punya 'aib', pasien kerap menunda periksa dan tidak segera berobat. Akibatnya, penularan makin meluas.
"Yang satu lagi adalah anak dari teman dekat saya. 17 tahun, anak Jaksel, hobi main skateboard, suka ngemall, ya kena TBC juga. Dan mereka sebetulnya sudah cukup teredukasi, mereka tahu apa penyebabnya, bagaimana penanggulangannya. Tapi stigma itu sesuatu yang luar biasa berat. Sampai malu, merasa aib," tuturnya lagi.
Najwa mengatakan mereka bisa sembuh seratus persen salah satunya disebabkan karena pendampingan serta kekuatan yang terus-menerus diberikan oleh orang-orang terdekat.