Mengenal Risiko COVID-19 pada Individu dengan Imunokompromais

Mengenal Risiko COVID-19 pada Individu dengan Imunokompromais

Inkana Izatifiqa R Putri - detikHealth
Kamis, 19 Jan 2023 09:32 WIB
Mengenal Risiko COVID-19 pada Individu dengan Imunokompromais
Foto: Dok. AstraZeneca
Jakarta -

Kelompok rentan sering kali mengalami keparahan yang lebih tinggi saat terkena COVID-19. Selain pasien komorbid dan lansia, individu dengan kondisi imunokompromais juga menjadi salah satu kelompok rentan yang berisiko.

Melansir Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention), imunokompromais merupakan suatu kondisi melemahnya sistem imun yang ditandai dengan efek kuantitatif pada sistem imun seluler, humoral, atau keduanya.

Gangguan sistem imun ini terjadi pada beberapa pasien, termasuk pasien kanker yang menerima pengobatan kanker secara aktif baik untuk tumor padat maupun kanker darah, pasien yang menerima transplantasi organ dan mengkonsumsi obat imunosupresan yang dapat menekan sistem kekebalan tubuh. Selanjutnya adalah individu dengan kondisi imunodefisiensi primer sedang atau berat hingga pasien HIV kondisi lanjut yang tidak terkontrol/tidak diobati.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Risiko Keparahan pada Pasien COVID-19 dengan Imunokompromais

Dalam kasus COVID-19, individu dengan kondisi imunokompromais memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi dibanding populasi sehat. Gangguan pada sistem imun dapat memperparah peningkatan beban penyakit dari COVID-19 pada kelompok ini.

ADVERTISEMENT

Adapun pada individu dengan imunokompromais, efektivitas vaksin COVID-19 terhadap kejadian rawat inap lebih rendah dibandingkan populasi sehat. Di atas bulan ke-7 setelah vaksinasi, efektivitas vaksin pada populasi ini ditemukan kurang dari 70%. Individu dengan imunokompromais juga tidak bisa menyamai populasi sehat dalam hal perlindungan dari COVID-19 setelah diberikan vaksin dosis ke-3.

Dalam hal ini, pasien dengan kondisi imunokompromais 3 kali lebih berisiko dirawat inap, 1,5 kali berisiko membutuhkan perawatan yang lebih intensif di ICU. Selain itu, kemungkinan kematian pada populasi ini juga jauh lebih tinggi, yaitu sebesar 2 kali lipat. Kelompok ini juga 2 kali lebih mungkin membutuhkan dukungan vasopressor. Dengan kata lain, risiko keparahan COVID-19 semakin tinggi.

Guna mencegah risiko keparahan ini, pasien dengan kondisi imunokompromais memerlukan opsi tambahan untuk profilaksis dalam mencegah kelompok tersebut untuk terinfeksi virus COVID-19.

"Sistem prokes dan vaksinasi booster adalah 2 garda utama yang dapat melindungi individu dari infeksi COVID-19, namun untuk kelompok rentan dikarenakan kondisi mereka, mereka memerlukan modalitas atau opsi lain seperti terapi imunisasi pasif dengan antibodi monoklonal," kata Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PERALMUNI) Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD, K-AI, FINASIM.

Dikutip dari cancer.org, Antibodi Monoklonal (mAbs) merupakan suatu protein yang dibuat di Laboratorium yang bertindak seperti antibodi manusia pada umumnya dalam sistem kekebalan tubuh. Antibodi Monoklonal (mAbs) Anti-SARS-COV-2 yang menargetkan Spike Protein Virus COVID-19 bermanfaat sebagai pencegahan (Pre-exposure Prophylaxis/PrEP) untuk Infeksi COVID-19. Antibodi Monoklonal juga mengikat S protein dari Virus COVID-19, sehingga mencegah virus untuk masuk ke dalam sel tubuh lainnya.

(akn/ega)

Berita Terkait