Biro Statistik Nasional China melaporkan pada 17 Januari, populasi mereka menyusut sebanyak 850 ribu orang menjadi 1,412 miliar di 2022. PBB bahkan memproyeksikan penduduk India sudah melampaui China sebagai negara terpadat tahun ini.
"Pada 18 Januari, populasi India telah meningkat menjadi 1,423 miliar," menurut World Population Review, sebuah organisasi independen yang fokus menganalis sensus dan demografi.
Bagaimana Efeknya?
Dikutip dari Channel News Asia, dampak penyusutan ini membuat aging population atau menuanya populasi terjadi dalam waktu cepat. Populasi usia kerja China, mereka yang berusia 16 hingga 64 tahun, mulai menurun pada sejak pertengahan 2010-an, dari 988 juta pada 2016 menjadi 946 juta pada 2022.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas mencapai 210 juta pada tahun 2022, meningkat 40 persen dari tahun 2016.
Konsekuensinya, jelas berdampak pada usia produktif yang berkurang hingga mengganggu ekonomi. Berlanjutnya penurunan populasi usia kerja menandakan China tidak dapat lagi mengandalkan sektor padat karya dan ekspor terkait pertumbuhan.
Biaya tenaga kerja di China sudah mulai meningkat pada tahun 2000-an. Urbanisasi yang cepat dan berkurangnya pasokan pekerja akan mempercepat kenaikan tersebut.
Selain itu, populasi menua membutuhkan dukungan pemerintah dan sistem pensiun yang lebih kuat. Ini berarti lebih sedikit sumber daya keuangan bagi pemerintah untuk dibelanjakan pada bidang-bidang seperti investasi infrastruktur dan subsidi untuk sektor dan perusahaan sasaran.
Populasi China yang menyusut dan 'beruban' menjadi pengingat China melakukan kebijakan baru yang efektif untuk angka kelahiran.
'Biang Kerok'
Alasan di balik menyusutnya populasi China ada dua. Pertama, kebijakan satu anak yang sudah berlangsung lama di China, diberlakukan antara tahun 1980 dan 2016, telah menyebabkan lebih sedikit wanita usia subur.
Kedua, keinginan untuk memiliki anak di antara mereka secara bertahap dan konsisten menurun. Menurut Bank Dunia, tingkat kesuburan total China (TFR, diukur dengan jumlah kelahiran per wanita), turun dari 2,7 pada tahun 1980 menjadi 1,3 pada tahun 2020.
Sementara negara-negara yang mencapai pembangunan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan sering mengalami penurunan tingkat kesuburan, TFR China 1,3 termasuk yang terendah di dunia.
Oleh karena itu, kemerosotan populasi China tidak terduga. Faktanya, Akademi Ilmu Sosial Shanghai memproyeksikan penurunan populasi pada tahun 2022 sebesar 0,49 dari 1.000.
Lebih penting lagi, tren penurunan tidak hanya akan berlanjut tetapi kemungkinan akan meningkat dalam dekade mendatang. Jumlah wanita usia subur akan tetap kecil setidaknya selama satu dekade lagi, sementara biaya membesarkan anak akan terus meningkat.
Sementara itu, kebijakan pemerintah untuk mendorong pasangan muda memiliki lebih banyak anak hampir tidak dapat membalikkan tingkat kesuburan negara yang menurun. Keengganan pemerintah untuk melonggarkan kebijakan satu anak pada tahun 2016 untuk memungkinkan pasangan memiliki lebih banyak anak mungkin terlalu terlambat untuk mengubah tren populasi China.











































