Resesi Seks Minggir Dulu, Warga +62 Masih Berkutat Pada Masalah Ini

Resesi Seks Minggir Dulu, Warga +62 Masih Berkutat Pada Masalah Ini

Khadijah Nur Azizah - detikHealth
Jumat, 03 Mar 2023 06:30 WIB
Resesi Seks Minggir Dulu, Warga +62 Masih Berkutat Pada Masalah Ini
Indonesia tidak diterpa resesi seks, melainkan angka kematian ibu (AKI) yang tinggi, stunting, sampai pernikahan remaja. (Foto: PIUS ERLANGGA)
Jakarta -

Beberapa negara di Asia berkutat dengan angka kelahiran dan populasi anjlok yang terjadi di negaranya. Salah satu contohnya, Jepang, mencatat angka kelahiran yang rendah sepanjang masa.

Pemerintah Jepang melaporkan untuk pertama kalinya sejak pencatatan dimulai pada 1899, angka kelahiran turun hingga di bawah 800 ribu. Banyak negara yang mengalami krisis populasi yang salah satunya dipicu keengganan wanita memiliki anak.

Berbeda dengan kebanyakan negara, Indonesia bukan mengalami krisis populasi tetapi masih berkutat dengan angka kematian ibu (AKI) yang tinggi, stunting, sampai pernikahan remaja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) mencatat angka kematian ibu masih berkisar 305 per 100 ribu kelahiran. Salah satu hal yang melatarbelakangi kematian ibu dan anak lahir stunting adalah usia melahirkan dini.

"Sekitar 30-40 kehamilan remaja berakhir prematur dan menyumbang stunting. Belum lagi kalau remaja ini anemia juga. Anemia menyebabkan janin kecil dan prematur," kata Sekjen Pokja Penurunan AKI dan Stunting dari Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dr Dwiana Octavianty, SpOG(K) saat ditemui di Kantor PB IDI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023).

ADVERTISEMENT

Kehamilan remaja berdampak negatif pada kesehatan remaja dan bayinya, juga dapat berdampak sosial dan ekonomi. Adapun risiko kehamilan pada remaja, seperti kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah (BBLR), hingga perdarahan persalinan. Faktor-faktor ini dapat meningkatkan kematian ibu dan bayi.

Kehamilan pada remaja juga terkait dengan kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi tidak aman. Belum lagi Persalinan pada ibu di bawah usia 20 tahun memiliki kontribusi dalam tingginya angka kematian neonatal, bayi, dan balita.

"AKI menjadi hal yang sampai sekarang nggak ada solusi nyatanya. kurvanya kadang naik, kadang turun. Kalau kita lihat sekarang, kecenderungan AKI meningkat di lapangan," bebernya.

Kasus stunting tinggi

Hal lain yang menjadi perhatian adalah anak yang lahir stunting. Berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia di angka 21,6 persen. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 24,4 persen.

Walaupun menurun, angka tersebut masih tinggi, mengingat target prevalensi stunting di tahun 2024 sebesar 14 persen dan standar WHO di bawah 20 persen.

"Stunting dimulai sejak pra hamil sebenarnya. Jadi sebelum dia menikah, kalau kualitas gizi remaja bermasalah, ketika hamil bisa beresiko. Ketika ada gangguan, dampaknya signifikan," papar dr Ovy.

Kerja Keras Atasi Stunting

Jumlah anak-anak yang mengalami stunting masih tinggi. Pada tahun 2022, anak usia 12-23 bulan yang mengalami stunting naik ke angka 973 ribu dibandingkan tahun sebelumnya di angka 500 ribu pada usia yang sama.

Jika dilihat berdasarkan provinsi angka stunting tertinggi berada di Nusa Tenggara Timur (NTT) yakni 35,3 persen, sementara Bali dinobatkan sebagai provinsi dengan angka stunting terendah yakni 8 persen.

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan stunting umumnya terjadi akibat ibu hamil dan anak balita kekurangan asupan penting seperti protein hewani dan nabati dan juga zat besi. Saat kondisi tersebut dibiarkan, akan berdampak buruk pada pertumbuhan anak di masa depan.

"Stunting itu bak kanker stadium 4. Kalau dirawat stadium 4, kecil peluang sembuhnya, sudah telat," ungkap Menkes saat dijumpai di daerah Jakarta Pusat, Jumat (27/1/).

Intervensi stunting tidak hanya dimulai saat janin berada di dalam kandungan. Ada 2 titik penting yang perlu di intervensi sebagai langkah pencegahan yang bisa dilakukan.

Pertama fase sebelum kelahiran, yakni dengan melakukan intervensi pencegahan anemia pada remaja putri dan ibu hamil. Kemudian titik kedua adalah pada fase sesudah kelahiran, utamanya pada kelompok umur antara 6-11 bulan dan 12-23 bulan.




(kna/suc)

Berita Terkait