Curhat Wanita Jepang Tak Terima Disebut 'Biang Kerok' Krisis Populasi

Round Up

Curhat Wanita Jepang Tak Terima Disebut 'Biang Kerok' Krisis Populasi

Hana Nushratu - detikHealth
Sabtu, 08 Apr 2023 05:00 WIB
Curhat Wanita Jepang Tak Terima Disebut Biang Kerok Krisis Populasi
Angka kelahiran di Jepang anjlok imbas warganya yang enggan punya anak. Menyikapi hal ini, wanita Jepang tak terima masalah tersebut merupakan kesalahan mereka. (Foto: David Mareuil/Getty Images )
Jakarta -

Jepang kini sedang dilanda krisis populasi imbas warganya yang enggan memiliki anak. Berkenaan dengan hal tersebut, sejumlah wanita Jepang menyuarakan bahwa mereka tidak seharusnya disalahkan atas masalah tersebut.

Jepang mencatat 799.728 angka kelahiran pada 2022, turun 5,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut merupakan angka terendah sejak pencatatan dimulai pada 1899.

Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida sudah memperingatkan penurunan populasi berimbas pada fungsi masyarakatnya. Negara dengan jumlah 125 juta penduduk ini juga memiliki rasio tertinggi terkait wanita berusia 50 tahun yang tidak pernah memiliki anak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini memicu perdebatan di Twitter, berkenaan dengan tagar 'tidak pernah memiliki anak seumur hidup'.

Seorang warga Jepang Tomoko Okada sudah lama merasa malu karena tidak memiliki anak. Ia juga sempat merasa ragu untuk mengklik topik yang sedang tren di Twitter, karena takut akan rentetan kritik yang biasa.

ADVERTISEMENT

Namun sebaliknya, dia menemukan sebagian besar diskusi yang simpatik dengan para wanita yang memutuskan untuk tidak berkeluarga.

"Dulu saya sangat percaya bahwa melahirkan adalah hal yang 'normal' untuk dilakukan," kata Okada dikutip dari Japan Times.

Okada bahkan sempat mencoba aplikasi pencari jodoh untuk mencari pasangan, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Ia juga merasa bersalah lantaran tidak bisa memenuhi permintaan sang ayah untuk memberikannya cucu di Hari Ayah.

Sejak dirinya mengunggah dan membaca unggahan orang lain terkait hal tersebut di media sosial, Okada mengaku lega. Ia kini merasa 'cara hidupnya baik-baik saja'.

Di sisi lain, angka kelahiran yang rendah merupakan masalah yang akut di Jepang lantaran menyangkut masalah ekonomi. Sebab, Jepang memiliki populasi tertua kedua di dunia setelah Monako dan aturan imigrasi yang relatif ketat.

Perdana Menteri Fumio Kishida telah menjanjikan kebijakan termasuk bantuan keuangan untuk keluarga, akses pengasuhan anak yang lebih mudah dan lebih banyak cuti orang tua.

Namun jumlah perempuan pada kabinet Kishida, kurang dari 10 persen yakni hanya dua dari 19 orang. Hal ini membuat beberapa wanita merasa dikesampingkan, atau bahkan diserang.

"Jangan salahkan wanita atas rendahnya angka kelahiran," cuit Ayako, seorang warga Tokyo berusia 38 tahun tanpa anak.

Ayako menyebutkan pusat permasalahan Jepang saat ini yaitu peran gender tradisional Jepang menjadi pusat masalah. Terkait hal ini, survei pemerintah pada 2021 menunjukkan bahwa wanita Jepang menghabiskan waktu sekitar empat kali lebih lama untuk pekerjaan rumah dan mengasuh anak daripada pria, bahkan dengan lebih banyak suami yang bekerja dari rumah.

Ayako blak-blakan menyuarakan soal isu-isu gender di dunia maya. Tetapi ketika dia berbicara mengenai hal ini di dunia nyata, ia justru diasingkan oleh orang sekitar.

"Sulit untuk meninggikan suaramu di dunia nyata. Aku merasa wanita menerima begitu banyak kritik hanya karena mengungkapkan pendapat mereka," katanya.

"Namun di media sosial, saya sering terkejut menemukan orang lain dengan pandangan yang sama," lanjut Ayako.

NEXT: Pendapat Pakar

Profesor studi media dan gender Meiji University Yuiko Fujita, mengatakan media sosial telah menjadi cara bagi perempuan khususnya untuk mendiskusikan masalah politik dan sosial dengan sedikit rasa takut, sering kali secara anonim.

Tagar terkait angka kelahiran lainnya, mencerca ibu sebagai 'layanan pengasuhan anak operator tunggal' atau meratapi permohonan penitipan anak yang ditolak, juga menjadi viral. Meskipun demikian, Fujita memperingatkan bahwa pencurahan memiliki dampak terbatas di luar 'ruang gema' online.

"Sayangnya, tidak banyak dari suara-suara ini yang melampaui komunitas perempuan untuk mencapai arena politik," ungkap Fujita.

Para ahli percaya bahwa angka kelahiran yang menurun adalah masalah yang kompleks dengan banyak akar penyebabnya. Hanya 2,4 persen kelahiran di Jepang di luar pernikahan, yang terendah di antara kelompok OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) dari 38 negara, angka yang sering dikaitkan dengan norma konservatif dan struktur keuangan yang mendukung keluarga.

Beberapa menunjuk ke ekonomi, dengan alasan pertumbuhan stagnan yang lama di negara itu membuat pasangan enggan memiliki bayi.

"Perubahan kebijakan seperti memperluas penyediaan tempat penitipan anak dapat membantu meningkatkan angka kelahiran, tetapi peningkatan tersebut seringkali sementara," kata Takumi Fujinami dari Japan Research Institute.

"Serta kesetaraan dalam hal pekerjaan rumah tangga," katanya sembari menekankan stabilitas ekonomi jangka panjang dan peningkatan pendapatan adalah kuncinya," lanjut Fujinami.

Halaman 2 dari 2
(hnu/suc)
Krisis Populasi Jepang
8 Konten
Jepang kini dihantam penurunan angka kelahiran imbas banyak warganya tak mau memiliki anak. Kondisi tersebut tak terlepas dari kekhawatiran warga, khususnya kaum muda, perihal mahalnya biaya hidup.

Berita Terkait