Jepang menghadapi krisis demografi besar saat ini. Jumlah angka kelahiran turun di bawah 800.000 untuk pertama kalinya pada tahun 2022.
Tingkat kelahiran berada di 1,34. Jauh di bawah standar yaitu 2,07 yang dibutuhkan untuk menjaga kestabilan populasi.
Jika hal ini terus terjadi, populasi di Jepang dapat turun dari 125 juta menjadi 88 juta pada tahun 2065. Salah satu hal yang menyebabkan krisis populasi di Jepang adalah enggannya masyarakat memiliki anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut, salah satunya adalah persoalan besarnya biaya untuk mengasuh anak di Jepang.
Salah seorang lulusan Tokyo Temple University, Chika Hashimoto (23) mengatakan bahwa memiliki anak bukanlah tujuan utama yang ingin ia capai.
"Hal tersebut tentu saja bukan pilihan pertama saja. Memenuhi karir dan menikmati kebebasan jauh lebih penting daripada menikah dan memiliki anak," ucap Chika dikutip dari Aljazeera, Senin (10/4/2023).
"Membesarkan anak membutuhkan biaya yang sangat banyak. Tak mudah untuk wanita Jepang menyeimbangkan karir dan membesarkan keluarga karena pasti harus memilih salah satu di antaranya," sambungnya.
Dikutip dari Asia Times, wanita muda Jepang semakin enggan untuk menikah dan memiliki anak karena ada peningkatan pesat dalam peluang ekonomi mereka. Partisipasi perempuan dalam gelar sarjana empat tahun mulai meningkat pesat pada akhir 1980-an dan mencapai 51 persen pada tahun 2020.
Tingkat pekerjaan perempuan muda juga meningkat secara signifikan. Tingkat partisipasi tenaga kerja wanita usia 25-29 hampir dua kali lipat dari 45 persen pada tahun 1970 menjadi 87 persen pada tahun 2020.
Selain karena masalah ekonomi dan peluang karier yang lebih besar, peran gender rumah tangga tradisional yang membebani perempuan untuk mengelola pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak juga menjadi penyebab menurunnya keinginan orang Jepang menikah dan punya anak.
Kontribusi laki-laki Jepang untuk pekerjaan rumah tangga masih sangat rendah dan ketidakseimbangan gender dalam pekerjaan rumah tangga masih terlihat jelas.
Bertahannya budaya peran gender yang tidak setara di rumah dalam menghadapi peluang ekonomi bagi perempuan membuat keseimbangan pekerjaan dan keluarga sangat sulit bagi wanita yang sudah menikah. Hal tersebut membuat daya tarik pernikahan pun menjadi berkurang.
(avk/naf)











































