Indomie Tak Sendiri Kesandung Etilen Oksida, Teh Buatan RI Juga Pernah Kena

Indomie Tak Sendiri Kesandung Etilen Oksida, Teh Buatan RI Juga Pernah Kena

Suci Risanti Rahmadania - detikHealth
Kamis, 27 Apr 2023 12:17 WIB
Indomie Tak Sendiri Kesandung Etilen Oksida, Teh Buatan RI Juga Pernah Kena
Ilustrasi mi instan (Foto: Getty Images/iStockphoto/Crazybboy)
Jakarta -

Belakangan geger soal produk indomie dari Indonesia di Taiwan-Malaysia ditarik dari pasaran lantaran mengandung etilen oksida (EtO) pemicu kanker. Sebenarnya, ini bukan kali pertama produk makanan-minuman asal Indonesia tersandung masalah serupa.

Sebelumnya, sempat ada produk mi instan dari Indonesia lain yang juga mengandung etilen oksida. Beberapa produk teh dari Indonesia juga sempat mengalami penolakan ekspor lantaran terdapat temuan senyawa turunannya yang dianggap sebagai residu pestisida 2,6-diisopropilnaftalena (2/6-DIPN) dan 9,10-antrakinon (9,10-AQ).

Dikutip dari Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ditolaknya produk Indonesia di negara lain lantaran keberadaan EtO, 2-CE, 2,6-DIPN, dan 9,10-AQ dianggap sebagai residu pestisida yang melebihi batas maksimal yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor.

Untuk saat ini EtO telah dilarang penggunaannya sebagai pestisida di Indonesia melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pendaftaran Pestisida. Sementara 2,6-DIPN dan 9,10-AQ tak diatur dalam Peraturan tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Apa Itu Etilen Oksida (EtO)?

EtO merupakan senyawa kimia yang di beberapa negara umumnya digunakan di industri, baik sebagai bahan baku untuk sintesis etilen glikol maupun sebagai zat atau bahan sterilisasi untuk alat medis. Selain itu, senyawa ini juga digunakan sebagai pestisida (fumigan) untuk post harvest handling komoditi pangan

Adapun munculnya isu EtO pada pangan olahan yang dimulai di Eropa diawali dengan penggunaan senyawa tersebut untuk mengatasi kontaminasi Salmonella pada biji wijen dan olahannya dari India.

ADVERTISEMENT

Berdasarkan informasi dari data Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) tahun 2001-2020, terdapat 658 notifikasi kontaminasi Salmonella pada biji wijen. Salmonella dapat mencemari biji wijen mulai dari budidaya, penyimpanan, pengolahan pasca panen, kontaminasi silang, air yang terkontaminasi, dan proses produksi yang tak sesuai standar higienitas.

Isu salmonella pada biji wijen tak hanya terjadi pada produk dari India, namun juga ditemukan pada produk dari beberapa negara Afrika.

Karenanya, EU (Eropa Union) mengetatkan pengawasan impor biji wijen dari India (2009), Uganda (2016), Nigeria (2017), Sudan (2017), dan Etiopia (2019).

Pada tahun 2016-2017, EU mengalami kejadian luar biasa (KLB) salmonellosis yang ditelusuri berasal dari konsumsi biji wijen Nigeria dan Sudan. Sekitar 70 persen produksi biji wijen di dunia berasal dari Asia, terutama India, China, dan Myanmar. Sementara 26 persen lainnya berasal dari Afrika, terutama Sierra Leone, Sudan, Nigeria, dan Uganda.

India juga melakukan impor biji wijen dalam skala besar dari Afrika untuk diekspor ulang atau diolah lebih lanjut. Berdasarkan informasi dari otoritas karantina India, negara tersebut menerima impor dari Somalia, Sudan, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Meksiko, serta biji wijennya harus difumigasi terlebih dahulu dengan metil bromida atau fumigasi lain yang setara.

Kemudian pada tanggal 9 September 2020, Belgia mengeluarkan notifikasi RASFF pertama terkait EtO pada biji wijen dari India dengan temuan kadar yang sangat tinggi, yaitu 186 mg/kg. Nilai tersebut jauh melebihi batas maksimal residu etilen oksida di Eropa sebesar 0,5 mg/kg.

Dengan adanya peristiwa tersebut, European Commission segera mengadakan pertemuan Food and Feed Crisis Coordinators Meeting serta menetapkan Commission Implementing Regulation (EU) 2020/1540, amending Implementing Regulation (EU) 2019/1793 as regards sesame seed originating from India pada 22 Oktober 2020.

Peraturan ini mewajibkan agar setiap pengiriman biji wijen dari India disertai sertifikat resmi yang menyatakan bahwa produk sudah disampling dan dianalisis residu pestisidanya. Pada RASFF Annual Report 2020, disebutkan bahwa terdapat 347 total notifikasi terkait EtO pada tahun 2020.

Mayoritas temuan EtO dilaporkan pada biji wijen dari India ataupun produk pangan yang menggunakan bahan dalam formulasinya. Kemudian temuan EtO dan turunannya telah meluas dan tak hanya pada biji wijen, namun bisa berasal dari bahan tambahan pangan, rempah-rempah, atau pangan olahan.

NEXT: Deretan temuan Etilen Oksida dalam produk makanan-minuman

Berdasarkan data EURASFF dari bulan September 2020 hingga September 2022, terdapat total 857 notifikasi terkait EtO, dengan rincian sebagai berikut.

  • Kacang-kacangan, produk kacang-kacangan dan biji-bijian (260 kasus)
  • Sereal dan produk roti (140 kasus)
  • Produk makanan lainnya/campuran (90 kasus)
  • Ramuan dan rempah-rempah (84 kasus)
  • Makanan diet, suplemen makanan, dan makanan yang diperkaya (83 kasus)
  • Bahan tambahan dan penyedap makanan (66 kasus)
  • Es dan makanan penutup (40 kasus)
  • Hidangan dan makanan ringan siap saji (35 kasus)
  • Sup, kaldu, saus, dan bumbu (27 kasus).
  • Sebagai keterangan, yang dimasukkan dalam kelompok komoditas lainnya, (4,6 persen) terdiri dari berbagai macam jenis pangan, di antaranya
  • Buah dan sayuran (13 kasus)
  • Susu dan produk susu (5 kasus)
Halaman 2 dari 2
(suc/up)
Mie Instan Kesandung Biang Kanker
34 Konten
Taiwan melaporkan temuan etilen oksida melebihi batas pada dua produk mi instan, yakni Indomie: Rasa Ayam Spesial asal Indonesia dan Ah Lai White Curry Noodles dari Malaysia. Diketahui, bahan tersebut bersifat karsinogen atau menyebabkan kanker.

Berita Terkait