Lebih dari 100 orang ditemukan tewas di hutan, menjadi korban sekte sesat. Mereka diiming-imingi masuk surga dengan syarat berpuasa sampai mati. Sekte ini mulai merebak di pertengahan April.
Tampak pula kuburan massal di hutan Shakahola berisi 101 mayat, bahkan kebanyakan dari mereka adalah anak-anak, delapan orang lain juga ditemukan hidup kemudian meninggal.
Ada kekhawatiran jumlah korban tewas bisa meningkat. Pasalnya, Kementerian Dalam Negeri Kenya mengatakan lebih dari 400 orang hilang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa aliran sesat yang dicurigai?
Pihak berwenang Kenya mengatakan korban tewas adalah anggota Good News International Church dengan beberapa diyakini terkait dengan New Life Prayer Centre and Church.
Pendeta yang memproklamirkan diri sebagai Paul Nthenge Mackenzie, mendirikan yang pertama pada 2003, dituduh menghasut anggota gerejanya untuk mati kelaparan.
Diduga dia meramalkan dunia akan berakhir atau 'kiamat' pada 15 April, dan memerintahkan para pengikutnya bunuh diri untuk menjadi yang pertama pergi ke surga.
Bagaimana kematian massal terjadi?
Mantan pengikut Good News, Titus Katana, mengatakan kepada AFP bahwa ada 'jadwal puasa' bagi semua pengikut sekte. Tahapannya, anak-anak dan orang lajang kelaparan terlebih dahulu, sebelum akhirnya wanita, kemudian pria.
"Mackenzie dan keluarganya akan pergi terakhir," tambahnya, membuat garis waktu yang tampaknya didukung oleh fakta lebih dari separuh mayat ditemukan sejauh ini adalah anak-anak, menurut tiga sumber yang dekat dengan penyelidikan.
Katana mengatakan para pengikutnya telah menjual properti, rumah, dan pabrik mereka karena mereka datang ke hutan belantara, disebut-sebut demi menunggu Tuhan di hutan Shakahola.
Hasil autopsi
Autopsi pertama dari Shakahola dilakukan Senin terhadap sembilan anak dan satu wanita.
Mereka memastikan kelaparan sebagai penyebab kematian, meskipun beberapa korban disebut mati lemas, kata pihak berwenang.
"Kebanyakan dari mereka memiliki tanda-tanda kelaparan. Mereka tidak memiliki makanan di perutnya dan lapisan lemaknya sangat kecil," jelas Kepala ahli patologi pemerintah Johansen Oduor.
Tak hanya itu, dua anak yang diautopsi juga menunjukkan tanda-tanda kekurangan oksigen. Ini terlihat dari kuku yang kebiruan.
"Kuku kebiruan merupakan indikasi bahwa ketika orang-orang ini meninggal, mereka tidak mendapatkan cukup oksigen ke dalam tubuh," kata Oduor.
"Kami merenungkan bahwa mungkin sesuatu terjadi pada mereka untuk menolak oksigen yang mungkin mati lemas," pungkasnya.
(naf/kna)











































