Beberapa waktu lalu, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meminta Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyiapkan tempat karantina khusus untuk pengidap tuberkulosis (TBC).
"Arahan Bapak Presiden, selama dua bulan ini coba disiapkan karantina khusus, tapi kalau bisa dekat dengan masing-masing lokasi di mana terjadi tuberkulosis ini," ujar Menkes dikutip dari AntaraNews, Rabu (19/7/2023).
"Jadi selama dua bulan dia tidak menularkan keluarganya, dimasukkan ke karantina khusus," sambungnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tempat karantina ini diharapkan bisa menjadi tempat untuk pasien TBC menjalani perawatan dengan baik. Termasuk lebih disiplin dan teratur dalam mengkonsumsi obat.
Dikutip dari Mayo Clinic, tuberkulosis atau TB adalah penyakit serius yang menyerang paru-paru. Ini disebabkan sejenis bakteri.
TB dapat menyebar ketika penderita batuk, bersin atau bernyanyi. Ini dapat menyebabkan tetesan kecil berisi kuman ke udara. Orang lain kemudian dapat menghirup tetesan, dan kuman masuk ke paru-paru.
Penyakit ini menyebar dengan mudah di tempat orang berkumpul dalam keramaian atau di tempat orang tinggal dalam kondisi padat. Dengan kondisi ini, apakah tempat karantina untuk pasien TB masih diperlukan?
Dokter spesialis paru sekaligus Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr Erlina Burhan, SpP(K), mengatakan sebelum ada obat-obatan, pasien TB harus dikarantina. Tempatnya harus jauh dari masyarakat yang disebut sanatorium.
"Mereka akan dijemur ramai-ramai tiap pagi, diminta minum susu, konsumsi makanan bergizi, lalu diistirahatkan. Hanya itu yang bisa dilakukan," tulis dr Erlina dalam akun Twitter pribadinya, dikutip detikcom atas izin yang bersangkutan.
"Tapi, begitu obat-obatan TB ditemukan, muncul harapan bahwa kita dapat menyembuhkan TB dengan cepat," sambungnya.
NEXT: Sebagian pasien TB sebenarnya tidak memerlukan karantina
Menurut dr Erlina, sebagian pasien TB sebenarnya tidak memerlukan karantina karena membutuhkan oksigen atau perlakuan khusus. Mereka cukup disiplin minum obat dan makan teratur, serta bergizi, agar kondisinya bisa pulih.
Selain itu, pasien TB juga dianjurkan memakai masker yang menutup mulut serta hidung dengan sempurna, untuk melindungi saat bersin maupun batuk. Namun, karantina mungkin akan diperlukan untuk kondisi-kondisi tertentu.
"Karena itu karantina ini bisa ditujukan untuk pasien-pasien berat, yang kita khawatir kalau tidak dikarantina akan menularkan kepada banyak orang," kata dr Erlina.
"Pasien berat (termasuk yang resisten terhadap obat) yang secara ekonomi miskin, tidak ada keluarga, dan tidak punya support keluarga. Kriteria pasien seperti ini yang harus dikarantina," jelasnya.
Peran Pemerintah untuk Pasien TB
Di samping itu, ini tidak lepas dari peran pemerintah dalam keberlangsungan karantina pasien TB. Pasien harus diberikan makanan yang cukup, lingkungan layak, pengawasan dalam minum obat, hingga uji dahak.
Hal ini dilakukan untuk memastikan pasien sudah negatif TBC. dr Erlina mengungkapkan biasanya pemeriksaan tersebut dilakukan setelah dua bulan.
"Kenapa dua bulan? Umumnya setelah dua bulan, pemeriksaan dahak sudah negatif, sehingga tidak berpotensi untuk menular," tulis dr Erlina.
"Bahkan pada kasus yang ringan dengan jumlah kuman yang sedikit, pemeriksaan dahak bisa negatif, kurang dari dua bulan," pungkasnya.
Simak Video "Video: Cerita Menkes Pilih-pilih Olahraga Ternyaman, Renang hingga Lari"
[Gambas:Video 20detik]
(sao/suc)











































