Belakangan ramai kasus dokter gadungan yang melibatkan pria di Surabaya bernama Susanto. Ia terbukti menggunakan data diri orang lain untuk melamar pekerjaan di bagian tenaga clinic sebagai dokter first aid di salah satu klinik milik PHC Surabaya.
Mulai Aksi di Tahun 2006 dan Sempat Jadi Obgyn
Perjalanan tipu-tipu Susanto di bidang kesehatan ini bermula di tahun 2006. Saat itu, Susanto sempat bekerja di PMI dan beberapa rumah sakit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Susanto juga sempat menjadi dokter kandungan atau obgyn di Kalimantan. Namun, aksinya ketahuan saat akan melakukan operasi caesar.
Tipu daya Susanto mulai terbongkar karena mendadak grogi di sesi operasi. Melihat ada yang aneh, salah satu perawat melaporkan Susanto ke direktur rumah sakit.
"Pada saat masuk operasi caesar, dokter Susanto gadungan ini grogi dan salah satu perawatnya mengetahui itu, kemudian melapor ke direktur. Direktur melapor ke polisi. Dari kejadian itu sempat diproses secara hukum dan mendapatkan hukuman 20 bulan," ungkap Wakil Sekjen PB IDI dan Mantan Ketua IDI Grobogan, dr Telogo Wismo, dalam konferensi pers, Kamis (14/9/2023).
"Itu hanya kasus yang menjadi pemicu terbongkarnya dokter Susanto sebagai dokter gadungan. Yang lain-lain sebetulnya banyak," ujarnya lebih lanjut.
Bekerja 2 Tahun di PHC Surabaya
Meski sudah berurusan dengan polisi, Susanto masih tidak kapok melancarkan aksinya. Hingga di tahun 2019, ia melihat lowongan pekerjaan di salah satu klinik PHC Surabaya untuk bagian Tenaga Layanan Clinic sebagai Dokter First Aid. Dia melihat adanya kesempatan dan langsung berniat melamar.
Untuk memenuhi kriteria dari posisi yang dicari, Susanto menelusuri internet dan mengambil identitas orang lain yang sesuai. Data yang digunakan adalah milik dr Anggi Yurikno, Susanto mengganti fotonya, dan mengirimnya ke email HRD PHC Surabaya.
"Saya melamar via e-mail, saya dapatkan via internet file-filenya. File yang saya ambil dari internet saya buat daftar ke PHC," kata Susanto saat sidang dakwaan di ruang Tirta, PN Surabaya, dikutip dari detikJatim, Rabu (13/9).
"Saya nggak ada edit ijazah, semuanya asli punya beliau. Tapi saya scan, saya ganti foto," lanjutnya.
Selain foto, Susanto juga memalsukan satu bendel data. Seluruh data ini diambil dari website Fullerton dan Media Sosial (Facebook). Data yang dipalsukan terdiri dari:
- CV yang berisikan Surat Izin Praktik (SIP) Dokter
- Ijazah Kedokteran
- Kartu Tanda Penduduk
- Sertifikat Hiperkes
NEXT: Terbongkarnya Aksi Susanto dan Didakwa Hukuman Penjara
Terbongkarnya Aksi Susanto
Setelah lolos, Susanto bekerja di klinik milik PHC Surabaya selama dua tahun. Selama itu, dia disebut menerima upah hingga 7,5 juta per bulan dan tunjangan lainnya selama sepertiga kontraknya.
Namun, akhirnya aksi Susanto bisa terbongkar saat pihak PHC meminta berkas persyaratan lamaran pekerjaan lagi. Saat itu, pihak rumah sakit berniat ingin memperpanjang masa kontrak kerja Susanto.
Namun, ada ketidaksesuaian antara hasil foto dengan Sertifikat Tanda Registrasi yang dikirimkan oleh Susanto. Setelah ditelusuri, data tersebut milik seorang dokter yang bekerja di Rumah Sakit Umum Karya Pangalengan Bhakti Sehat Bandung, dr Anggi Yurikno.
Dituntut 4 Tahun Penjara
Susanto menjalani sidang tuntutan secara daring di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Jaksa menuntut Susanto dengan empat tahun penjara.
Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ugik Ramantyo menilai perbuatan Susanto memenuhi unsur pasal 378. Ia terbukti secara sah telah melanggar hukum pidana, dan melakukan penipuan berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan.
"Memohon pada ketua majelis hakim, menuntut dan menjatuhkan terdakwa Susanto dengan pidana 378 kuhp. Memohon kepada majelis hakim agar menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 4 tahun penjara, menyatakan terdakwa tetap ditahan," kata Ugik saat membacakan surat tuntutan di Ruang Cakra PN Surabaya yang dikutip dari detikJatim, Senin (18/9).
Ugik menjelaskan ada sejumlah hal yang memberatkan hukuman Susanto. Itu terdiri dari rekam jejak terdakwa residivis atau pernah terjerat kasus yang sama, tidak menyesali perbuatannya, meresahkan masyarakat, dan menikmati hasil dari tindak pidana yang bisa berpotensi merugikan masyarakat.











































