'Ada harga ada barang', demikian anggapan yang kerap muncul di benak banyak orang, khususnya warga Indonesia. Persepsi ini juga melekat di sebagian orang saat memilih obat. Banyak dari mereka yang percaya kualitas dari obat mahal lebih terjamin ketimbang yang murah. Mereka rela berburu obat mahal sampai ke luar negeri, bahkan secara online.
Namun, hasil riset menunjukkan fakta sebaliknya. Studi terbaru dari Systematic Tracking of At-Risk Medicines (STARmeds) melakukan riset pada 1.274 sampel obat, sepertiga di antaranya memiliki harga 10 kali lipat lebih mahal dibandingkan produk serupa yang lebih murah.
Adapun sampel yang diambil dari lima jenis obat ini termasuk antibiotik, obat asam urat atau allopurinol, obat tekanan darah tinggi atau amlodipine, dan steroid yakni dexamethasone.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampel diambil dari sejumlah fasilitas kesehatan termasuk rumah sakit, apotek, e-commerce di Jabodetabek, juga kota dan desa Indonesia bagian barat, tengah, timur. Hasil riset cukup mengejutkan lantaran kualitas seluruh harga obat yang lebih mahal 'setara' dengan obat murah.
"10 persen sampel obat dengan harga tertinggi, ada yang dihargai lebih dari 30 kali lipat harga terendah, meskipun kualitasnya serupa," ungkap riset STARmeds yang bekerja sama dengan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Imperial College London, dan Erasmus University Rotterdam.
"Kami tergerak melakukan penelitian ini saat publik dan media mulai mempertanyakan kualitas dari obat yang memiliki harga murah atau bahkan gratis. Kami tertarik untuk untuk melihat apakah harga obat akan selalu berbanding lurus dengan kualitasnya," beber Prof Dr apt Yusi Anggriani, MKes, Co-Principal Investigator of STARmeds, saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (3/10/2023).
Di sisi lain, Co-Principal Investigator STARMeds Elizabeth Pisani, menyebutkan berdasarkan penelitian, kualitas 95,1 persen obat yang diteliti di pasar Indonesia terbilang baik.
"Tidak ada hubungan antara mahalnya harga dengan kualitas obat. Obat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang generik dan harganya murah nyatanya memiliki kualitas yang sama dengan obat bermerek atau obat paten," bebernya, dalam Kelas Jurnalis di Jakarta, Selasa (3/10).
Dalam memproduksi suatu obat, menurutnya diperlukan proses riset dan pengembangan sampai 5 tahun. Obat yang pertama kali muncul dengan bahan aktif baru akan menjadi obat paten dengan masa paten 15-20 tahun.
Di Indonesia, relatif sedikit pelaku industri farmasi yang melakukan riset, juga pengembangan di bidang obat-obatan. Maka dari itu, obat paten di Indonesia pada umumnya impor lantaran dikembangkan di Eropa hingga Amerika Serikat, sebagai negara maju.
Setelah melalui 5 tahun proses produksi, dan 15- 20 tahun masa paten, obat akan diperbanyak oleh industri farmasi. Barulah kemudian menjadi obat generik dengan harga yang lebih murah.
Obat inilah yang kemudia akan diseleksi untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia.
Dari 18.000 obat yang terdaftar dan puluhan ribu zat aktif, Kementerian Kesehatan hanya akan memilih obat yang memang efektif untuk digunakan sebagai obat JKN.
"Oleh karena itu masyarakat tidak perlu ragu menggunakan obat dengan harga yang terjangkau," tegasnya.
"Temuan kami menunjukkan obat dari penjual online yang terverifikasi memiliki kualitas yang sama dengan apotek resmi. Tetapi, yang dibeli dari penjual tidak terverifikasi lebih cenderung dipalsukan atau memiliki kualitas rendah," pungkasnya.
(naf/naf)











































