Kata Psikolog soal Femisida, Terkait Kasus Anak DPR Aniaya Kekasih hingga Tewas

Kata Psikolog soal Femisida, Terkait Kasus Anak DPR Aniaya Kekasih hingga Tewas

Suci Risanti Rahmadania - detikHealth
Senin, 09 Okt 2023 10:30 WIB
Kata Psikolog soal Femisida, Terkait Kasus Anak DPR Aniaya Kekasih hingga Tewas
Foto: Tangkapan layar
Jakarta -

Kasus kematian Dini Sera Afriyanti yang dianiaya oleh kekasihnya, Ronald Tannur yang merupakan anak anggota DPR RI belakangan tengah disorot publik. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyebut kasus kematian ini dikategorikan sebagai femisida.

Hal ini dilihat dari rangkaian kejadian penganiayaan yang dialami Dini. Menurut Andy, terdapat indikasi bahwa penganiayaan Ronald kepada Dini telah terjadi berulang kali dan yang terakhir berujung pada kematian.

Adapun peristiwa kekerasan terakhir menunjukkan proses yang disengaja untuk mengakibatkan penderitaan fisik dan psikis luar biasa kepada korban. Pemukulan sejak dari dalam ruangan, ke ruang parkir, penempatan korban di dalam bagasi, perekaman dengan pengejekan, pelindasan dengan mobil, dan menunda membawa korban ke rumah sakit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Rangkaian kondisi ini menunjukkan bahwa peristiwa ini dapat dikategorikan sebagai femisida: pembunuhan perempuan dengan alasan ataupun karena ia perempuan, dalam relasi kuasa timpang berbasis gender terhadap pelaku, dalam hal ini relasi antara korban dan pelaku yang adalah pacarnya," imbuh Andy dalam keterangannya, Minggu (8/10/2023).

Apa Itu Femisida?

Mengacu pada Sidang Umum Dewan HAM PBB, Psikolog klinis Veronica Adesla menuturkan bahwa femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.

ADVERTISEMENT

"Karena itu, femisida muatannya berbeda dari pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi. Femisida bukanlah kematian sebagaimana umumnya melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis dan terjadi baik di ranah privat, komunitas maupun negara," ucapnya saat dihubungi detikcom, Senin (9/10/2023).

"Penekanan yang membedakan adalah pada adanya aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi, dimanar artinya memandang perempuan lebih rendah, memperlakukan perempuan lebih rendah, tidak setara dan layak untuk ditindas," imbuhnya lagi.

Femisida umumnya dilakukan oleh orang terdekat karena ada unsur kebencian, dominasi, penaklukan yang biasanya saat dilihat di riwayat hubungan tersebut sudah terlihat adanya unsur relasi kuasa yang tercermin dalam interaksi di antara keduanya.

NEXT: Alasan Femisida Juga Menjadi Isu Kesehatan

Menurut Veronica, salah satu isu besar yang juga menjadi sorotan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah kesetaraan gender, yakni banyak sekali kasus Gender Based Violence atau kekerasan atas dasar gender yang terjadi di dunia. Tentu ini menjadi sorotan penting yang perlu ditindak dengan segera secara bersama-sama termasuk dari sisi psikologi.

"Karena itu salah satunya kita perlu mendidik dan mengajarkan kepada anak-anak kita, generasi muda di bangku sekolah mengenai kesetaraan gender, pentingnya memperlakukan orang lain apapun gendernya dengan tetap saling menghargai, adil, menghormati, dan saling menjaga satu sama lain," katanya lagi.

"Tidak ada gender yang lebih baik dari gender lainnya! Kita semua sebagai manusia sama-sama memiliki hak yang sama, yaitu untuk hidup, bebas berekspresi, bersuara, membuat pilihan, untuk mendapatkan rasa aman, dilindungi, diperlakukan dengan layak, mengakses pendidikan, dan kesehatan," sambungnya.

Tanpa adanya kesetaraan, maka akan semakin banyak kasus kekerasan yang terjadi, semakin banyak korban dan pelaku, semakin dunia terasa tidak aman untuk ditinggali, artinya semakin banyak orang yang tidak sehat mental. Baik korban, pelaku, maupun orang yang menyaksikan semuanya terdampak kesehatan mentalnya.

"Penting untuk kita bisa menciptakan lingkungan masyarakat negara yang aman untuk ditinggali, karena dengan demikian kita dapat lebih berfokus pada pengembangan yang dapat dilakukan," kata Veronica.

"Aman adalah kebutuhan dasar yang sama pentingnya dengan sandang dan pangan. Kalau kita merasa aman, kita dapat memikirkan hal-hal lain seperti membuat karya, berkreasi, membuat berbagai inovasi dan karya yang dapat memajukan bangsa," sambungnya lagi.

Di samping itu, WHO juga menyebut kasus femisida meliputi ancaman atau intimidasi sampai memicu kekerasan seksual, atau situasi saat perempuan tak lagi memiliki kekuatan dan sumber daya cukup tinggi untuk membela diri dibandingkan pasangan mereka.

WHO merinci beberapa faktor pemicu terjadinya femisida adalah seperti berikut.

  • Pengangguran
  • Memaksakan hubungan seksual dengan pasangan
  • Penggunaan alkohol dan obat terlarang
  • Adanya masalah kesehatan mental
  • Adanya pelecehan di masa kehamilan
  • Kehadiran anak bukan dari hubungan pasangan saat ini
  • Ketidaksetaraan gender

Baca juga

Halaman 2 dari 2
(suc/up)

Berita Terkait