*CATATAN: Informasi ini tidak untuk menginspirasi siapapun untuk bunuh diri. Jika Anda memiliki pikiran untuk bunuh diri, segera mencari bantuan dengan menghubungi psikolog atau psikiater terdekat. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami tanda peringatan bunuh diri, segera hubungi Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes 021-500-454.*
Kasus bunuh diri belakangan sangat memprihatinkan. Terbaru, mahasiswi berinisial (NJ) ditemukan tak bernyawa diduga melompat dari lantai 4 Mal Paragon Semarang. Adapun kejadian tersebut terjadi pada Selasa (10/10/2023) di area keluar parkir Mal Paragon.
"Sesuai temuan barang berupa tas, diduga bunuh diri. Di tas ada surat seolah-olah ingin berpamitan dengan keluarganya," ujar Kapolsek Semarang Tengah Kompol Indra Romantika dikutip dari Antara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bunuh diri memang menjadi isu kesehatan masyarakat serius. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2019, satu orang meninggal setiap 40 detik karena bunuh diri.
Merujuk data Kementerian Kesehatan RI, di Indonesia sendiri pada tahun 2022, angka kasus bunuh diri menyentuh 826 orang. Angka ini meningkat 6,37 persen dibandingkan 2018, yakni 772 kasus.
Catatan bunuh diri di Indonesia juga relatif jauh lebih tinggi dibandingkan rekor kasus terbanyak Singapura sepanjang 2023 yang sejauh ini tercatat mencapai 476 korban.
Lantas, seperti apa tanda-tandanya?
Psikolog klinis Veronica Adesla mengatakan, penyebab utama dari seseorang yang melakukan bunuh diri adalah kesehatan mental seperti mayor depresi. Orang yang mengalami depresi biasanya memperlihatkan gejala, seperti menarik diri dari lingkungan, mendadak menjadi pendiam, menjauhi orang lain, dan sebagainya.
"Biasanya dia ikut aktif banyak kegiatan sekarang kalau misalnya selesai aktivitas langsung ke rumah, diajak main nggak mau, diajak olahraga yang biasanya mau, taunya nggak," ucapnya saat ditemui di Jakarta Selatan, (13/10/2023).
Veronica juga menyebut orang yang mengalami depresi biasanya memiliki tanda-tanda yang terlihat dari media sosial. Misalnya, di media sosial, seseorang tersebut menuliskan kata-kata sedih, putus harapan, ataupun mengucapkan kata-kata perpisahan. Menurut Veronica, orang-orang seperti ini harus dijangkau.
"Terutama bagi orang-orang yang bisa cek sosial media dan melihat seperti itu, lebih baik kita datangi untuk kita tanya, are you okay, kamu oke nggak? Butuh cerita nggak? Kita keluar yuk? Atau datang ke tempat dia justru kayak eh kita ke tempat kamu ya, makan bareng yuk, jadi diajak untuk tidak melulu sendirian," imbuhnya lagi.
"Karena kalau orang depresi itu sendirian itu memperburuk kondisi dia. Orang di dalam kondisi depresi, itu harus ngepush dirinya sendiri keluar, ngepush dirinya sendiri untuk tetap beraktivitas, harus ngepush dirinya sendiri untuk berkontak dengan orang lain," ucapnya.
(suc/naf)











































