Viral unggahan di media sosial X yang memperlihatkan pembalut reject dijual di toko online. Dalam tangkapan layar yang beredar, tertulis produk tersebut memiliki cacat atau kerusakan sehingga tak bisa beredar di pasaran.
"Is this fr ada yg jualan pembalut reject begini?" tulis pengunggah.
Pantauan detikcom di lapak online, pembalut repack atau reject banyak dijual dengan harga berkisar Rp 35-50 ribu untuk 100 lembar. Terkait unggahan viral tersebut, tak sedikit netizen yang menyoroti terkait period poverty.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Period poverty atau 'kemiskinan menstruasi' adalah istilah yang menggambarkan kurangnya akses terhadap produk-produk menstruasi, pendidikan, fasilitas kebersihan, pengelolaan limbah, atau kombinasi dari hal-hal tersebut.
"Bisa ganti pembalut 5-6 kali tiap hari itu udah mewah banget," tulis akun @**ntu_b**a
"Period poverty is real and existing issues in many parts of the world," ujar @spik***ani*
Masalah period poverty diperkirakan mempengaruhi sekitar 500 juta wanita di dunia. Period poverty atau kemiskinan menstruasi adalah masalah yang timbul karena kurangnya akses perempuan ke produk menstruasi.
United Nations Population Fund mendefinisikan period poverty sebagai kondisi saat perempuan berpenghasilan rendah berjuang membeli produk menstruasi. Kenyataan ini turut dirasakan oleh banyak perempuan di Indonesia.
Perempuan pekerja berpenghasilan rendah yang tidak mampu membeli pembalut atau tampon sering kali tinggal di rumah ketika mereka sedang menstruasi daripada berisiko terlihat terkena noda di pakaian mereka, sehingga membahayakan pekerjaan yang mereka lakukan.
Anak perempuan banyak yang bolos sekolah dan kemudian tertinggal atau putus sekolah. Kedua kelompok ini membahayakan kesehatan mereka dan banyak yang menderita tekanan emosional karena tak bisa mengakses pembalut.
Pentingnya Bicara soal Period Poverty
Produk kebersihan menstruasi adalah kebutuhan, bukan kemewahan, dan harus diperlakukan sebagaimana mestinya. Masyarakat perlu mengatasi stigma seputar menstruasi untuk memahami dan memperbaiki tantangan yang dihadapi masyarakat terkait akses terhadap produk kebersihan menstruasi.
Pemerintah juga harus ikut terlibat dalam pemenuhan kebutuhan sanitasi khususnya pembalut bagi perempuan. Pembalut seharusnya masuk dalam komponen dan jenis kebutuhan hidup layak.
Faktanya, pemerintah menghapuskan item pembalut dari komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan menggantinya dengan korek kuping (cotton buds). Hal ini menunjukkan bahwa hal-hal terkait menstruasi masih belum banyak menjadi perhatian meski kondisi period poverty nyata dialami.
(kna/naf)











































