Thailand Rekor Angka Kelahiran Terendah, Warganya Ogah Punya Bayi gegara Ini

Thailand Rekor Angka Kelahiran Terendah, Warganya Ogah Punya Bayi gegara Ini

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Minggu, 17 Des 2023 09:08 WIB
Thailand Rekor Angka Kelahiran Terendah, Warganya Ogah Punya Bayi gegara Ini
Ilustrasi warga Thailand. (Foto: AP Photo/Sakchai Lalit)
Jakarta -

Memiliki anak menjadi hal terakhir yang dipikirkan warga Thailand, seperti wanita 39 tahun Phanpaka Harworth. Menurutnya, membesarkan anak bisa berdampak pada potensi perkembangan karier.

Wanita yang sudah menjadi dosen di salah satu universitas Thailand ini percaya mempunyai anak adalah tantangan besar di negaranya. Dirinya bahkan menilai tidak ada lagi lingkungan yang kondusif untuk membesarkan sebuah keluarga.

"Jika saya harus membesarkan seorang anak di negara ini, saya akan sangat kelelahan dalam banyak hal. Dukungan pemerintah kurang baik dan kondisi sosial kurang baik. Ada banyak masalah seperti kondisi kehidupan dan kualitas udara," katanya kepada CNA, dikutip Minggu (17/12/2023).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jika saya harus membesarkan anak saya di Thailand, saya tidak ingin memilikinya."

Phanphaka jelas tidak sendirian. Mengacu sejumlah data, angka kelahiran di negara Asia Tenggara ini anjlok ke rekor terendah dalam 74 tahun terakhir pada 2022.

ADVERTISEMENT

Imbasnya, masyarakat yang menua juga semakin mengakar, saat jumlah lansia sudah mencapai seperlima dari total penduduk Thailand. Negara-negara lain di Asia seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura juga sedang bergulat dengan tren populasi serupa.

Namun angka tersebut tampaknya lebih buruk di Thailand.

Jika trennya terus berlanjut, populasi Thailand dari yang berjumlah 66 juta jiwa akan berkurang setengahnya sebelum pergantian abad. Hal ini akan berdampak besar pada perekonomian, layanan kesehatan, serta pembangunan.

Para ahli mengatakan, meredakan krisis atau setidaknya meringankan dampaknya bergantung pada peningkatan kesadaran dan perubahan pola pikir, meningkatkan dukungan dari semua sektor, dan memastikan langkah-langkah tersebut diterapkan dengan cepat seiring berjalannya waktu.

Menahan penurunan angka kelahiran merupakan sebuah upaya panjang yang menurut para ahli memerlukan perencanaan yang cermat, kelanjutan, dan masukan signifikan dari negara, sektor swasta, dan masyarakat.

Pemerintahan Perdana Menteri Srettha Thavisin saat ini sangat menyadari proyeksi populasi dan implikasi jangka panjangnya terhadap produktivitas.

Saat menjabat di September, Menteri Kesehatan Masyarakat Dr Cholnan Srikaew menekankan betapa pentingnya prokreasi bagi daya saing negara dan berjanji untuk memasukkan promosi persalinan ke dalam agenda nasional.

Ia menggarisbawahi perlunya mengubah persepsi masyarakat mengenai banyaknya anak. dapat membuat mereka miskin.

"Orang Thailand tidak akan memiliki anak, terutama mereka yang memiliki pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan yang baik serta mampu secara finansial. Mereka tidak akan melakukannya," kata menteri tersebut kepada parlemen pada 12 September.

"Ini adalah sesuatu yang terdistorsi dalam masyarakat Thailand," tambahnya.

Pada 25 Desember, sebuah komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan Masyarakat akan mengadakan pertemuan dengan unit-unit terkait untuk membahas kerangka komprehensif untuk promosi persalinan, keselamatan ibu dan bayi, serta anak yang berkualitas.

Kementerian juga berencana membuka klinik kesuburan di setiap provinsi dan mengembangkan langkah-langkah untuk mengurangi beban pengasuhan anak, membantu perempuan yang mengalami kesulitan untuk hamil, dan membuat teknologi reproduksi berbantuan dapat diakses oleh para lajang.

Simak juga 'Mitos atau Fakta: Makan Nanas Pemicu Haid Datang Lebih Cepat':

[Gambas:Video 20detik]



Langkah ini merupakan respons terhadap anjloknya angka kelahiran di Thailand, yang turun hampir 40 persen hanya dalam satu dekade, dari 780.975 pada 2012 menjadi 485.085 pada tahun 2022.

Menurut Departemen Kesehatan, rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita usia subur turun menjadi 1,08 anak pada tahun lalu.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan tingkat penggantian sebesar 2,1 kelahiran per perempuan, yang akan memungkinkan negara tersebut mempertahankan populasinya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

"Jika situasi ini terus berlanjut, satu keluarga memiliki sekitar satu anak, populasi kita akan menyusut setengahnya dalam 60 tahun, dari 66 juta menjadi sekitar 33 juta," kata Dr Piyachart Phiromswad dari Sasin Graduate Institute of Business Administration di Chulalongkorn University.

Halaman 2 dari 2
(naf/naf)

Berita Terkait