Seorang bocah TK berusia lima tahun dikabarkan menjadi korban pencabulan yang dilakukan oleh teman sekelasnya. Hal ini terungkap setelah ibu korban menyadari ada yang berubah dari perilaku anaknya. Setelah diusut, barulah ketahuan bahwa anak tersebut berulang kali dicabuli oleh teman sekelasnya sesama jenis kelamin.
Awalnya, korban marah kepada sang ibu karena tak diberi susu. Saat marah, anak tersebut membuka celana dan menunjukkan alat kelaminnya. Perilaku itulah yang membuat sang ibu berpikir, ada yang berubah dari sikap anaknya. Setelah dicari tahu, sang ibu mengetahui bahwa perilaku anaknya tersebut timbul karena 'belajar' dari tindakan serupa oleh teman sekelasnnya.
Setelah orang tua korban melakukan pengaduan ke beberapa pihak termasuk sekolah korban, kasus tersebut kemudian ditangani pihak berwajib. Kapolresta Pekanbaru Kombes Jeki Rahmat sempat menyebut, akan ada perhatian khusus lantaran korban dan anak yang diduga melakukan pencabulan masih berusia lima tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlepas dari perkembangan kasus tersebut, psikolog klinis anak Noridha Weningsari, MPsi menjelaskan bahwa ada beberapa perilaku seksual yang berkembang di usia anak-anak sekolah, tergolong ke dalam Harmful Sexual Behavior (HSB).
Pada kondisi ini, perilaku tersebut cenderung tidak sesuai perkembangan dan ditunjukkan oleh anak serta berbahaya atau mengandung kekerasan, di antaranya berupa peer-on-peer sexual abuse, atau kekerasan seksual yang terjadi antara anak-anak dalam satu tahapan perkembangan. Salah satu kemungkinan penyebabnya, tak lain paparan gambar atau video memuat perilaku seksual.
Noridha menegaskan, memang tidak semua anak melihat perilaku seksual sebagai pengalaman traumatis. Bahkan, anak mungkin tidak memahami bahwa apa yang dialaminya dari teman sebaya merupakan tindakan kekerasan.
NEXT: Bisa sefatal apa dampaknya pada korban?
Di kepala anak-anak, tindakan yang dialaminya mungkin hanya berupa permainan. Namun begitu, penanganan tepat terhadap korban kekerasan seksual tetap harus menjadi prioritas.
"Pengalaman seksual yang tidak sesuai usia tetaplah pengalaman tidak menyenangkan sehingga perlu mendapatkan penanganan dengn serius. Penanganan dapat dilakukan mulai dari memberikan psikoedukasi terkait perilaku atau permainan yang wajar, menggali apa yang dirasakan dan dipikirkan anak terkait perilaku tersebut sesuai dengan tahapan usianya," ujar Noridha.
"(Selain itu) mengajak anak meregulasi emosi dan memgekspresikan ketidaknyamanan berkaitan dengan kejadian secara adaptif, juga membantu anak memberikan pemahaman terkait perilaku seksual tersebut. Pada kasus-kasus tertentu, ganggun psikologis terkait kejadian juga mungkin saja muncul sehingga diperlukan psikoterapi dengan tenaga profesional kesehatan mental," pungkasnya.











































