Muncul sejak 2017, wacana penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) belum juga disahkan. Indonesia dinilai tertinggal dari 50 negara yang sudah lebih dulu mengeksekusi regulasi tersebut termasuk Thailand, Filipina, hingga Malaysia.
Belakangan, di penghujung Januari 2024, urgensi penerapan cukai MBDK tersebut datang dari Kementerian Kesehatan RI. Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono memastikan penerapannya sesegera mungkin dilakukan tahun ini, mengingat angka penyakit tidak menular dalam kurun 10 tahun terakhir meningkat dua kali lipat.
"Penerapan cukai MBDK sesegera mungkin tahun ini, tinggal ditandatangani Menteri Keuangan," tegasnya saat ditemui detikcom di Hotel Borobudur Senin (29/1/2024)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ditanya mengenai alasan wacana penerapan cukai MBDK cenderung molor, Dante berdalih dibutuhkan diskusi antar lembaga dan instansi serta industri, juga analisis studi menyoal keterkaitan atau efektivitas penerapan cukai MBDK ke prevalensi kasus diabetes sampai obesitas.
Dante mengklaim usulan cukai MBDK saat ini sudah disetujui oleh banyak pihak termasuk industri dalam melihat efeknya dari sisi perekonomian.
Catatan Kemenkes RI menunjukkan dalam kurun 20 tahun terakhir konsumen minuman berpemanis dalam kemasan rupanya sudah meningkat 15 kali lipat. Dari 'hanya' 700-an liter menjadi 51 juta liter dalam setahun.
"Industri sudah setuju. Kita juga sudah memberikan analisis studinya," terang Dante.
Bukti Efektivitas Cukai Tekan Prevalensi Penyakit
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) dr Eva Susanti menunjukkan sejumlah bukti efektivitas penerapan cukai MBDK pada penyusutan angka penyakit tidak menular di sejumlah negara.
Seperti yang terjadi di Thailand, dengan penerapan cukai sekitar 20 persen, angka kejadian diabetes tipe 2, penyakit jantung, sampai stroke berkurang.
Misalnya pasien dengan bobot tubuh berlebih di sana menurun satu hingga tiga persen, sementara kasus obesitas berkurang satu sampai empat persen.
Bukti lain di Afrika Selatan, bobot tubuh setelah penerapan cukai MBDK rata-rata menurun. Bila dilihat secara keseluruhan, body mass index (BMI) berkurang. Bobot tubuh 0,6 kg per meter pada ukuran badan rendah, pada tubuh dengan tinggi sedang berkurang 0,9 kg.
Sementara tubuh paling tinggi biasanya melaporkan penyusutan BB sampai 1 kg.
Apa Saja Minuman yang Dijerat Cukai?
Perlu diketahui, minuman berpemanis dalam kemasan tidak meliputi olahan pangan sajian seperti minuman yang tengah viral, contohnya minuman boba, kopi susu, dan sebagainya.
MBDK sendiri didefinisikan sebagai minuman mengandung gula, bahan tambahan pangan (BTP) pemanis alami dan/atau pemanis buatan yang telah siap untuk dikonsumsi dan sudah dikemas dengan tujuan untuk penjualan eceran atau kemasan pabrikasi). Tidak mengandung etil alkohol, termasuk di dalamnya konsentrat minuman mengandung pemanis yang konsumsinya masih memerlukan proses pengenceran, dalam bentuk:
- Bubuk
- Pasta
- Padat
- Cairan kental atau sirup.
NEXT: Pekiraan Besaran Cukai di RI
Dari aspek sosial ekonomi, dr Eva memastikan penerapan cukai MBDK tidak ikut berdampak. Sejumlah riset di negara-negara dilaporkan tidak mengalami peningkatan angka pengangguran.
Seperti diberitakan sebelumnya, ahli kebijakan Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Sarno menyebut besaran cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) kemungkinan mengikuti regulasi sejumlah negara. Bila dibandingkan dengan aturan yang sudah berlaku, rata-rata penerapan cukai MBDK di 1.771 rupiah per liter.
"Ini benchmarking dari negara kita, kami masih diskusi sambil hitung dampak ekonominya," tutur Sarno dalam agenda urgensi cukai minuman berpemanis dalam kemasan, Senin (29/1/2024).
Aturan cukai disebutnya dikecualikan dari produk MBDK dengan kandungan gula di bawah 6 gram per 100 ml. Artinya, di atas standar tersebut seluruh jenis MBDK dikenakan cukai.
"MBDK yang mengandung bahan tambahan pangan (BTP) pemanis dalam kadar berapapun itu diterapkan," sambungnya.











































