Perjuangan Penyintas TBC Resisten Obat, Butuh Puluhan Tahun untuk Sembuh

Perjuangan Penyintas TBC Resisten Obat, Butuh Puluhan Tahun untuk Sembuh

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Rabu, 07 Agu 2024 23:12 WIB
Perjuangan Penyintas TBC Resisten Obat, Butuh Puluhan Tahun untuk Sembuh
Ilustrasi pengobatan TBC resisten obat. (Foto: Getty Images/iStockphoto/kemalbas)
Jakarta -

Sembuh demi anak. Hanya itu yang ada di benak Budi Hermawan, penyintas tuberkulosis resisten obat yang hidupnya sempat 'divonis' tersisa dua tahun.

Budi ingat betul bagaimana ia menghadapi keputusasaan saat dokter menyatakan dua obat paling manjur untuk pasien TBC tak lagi mempan melawan bakteri yang semakin hari bak 'menggerogoti' tubuhnya. Kondisi itu dinamakan multidrug resistant tuberculosis (TB-MDR) atau tipe tuberkulosis yang 'kebal' terhadap dua jenis antibiotik paling efektif untuk menangani TBC, yaitu isoniazid dan rifampicin.

Semua ini bermula pada 2001, Budi kala itu hanya mengira sedang batuk biasa. Herannya, batuk tak kunjung mereda sampai suatu malam keluhan lain muncul dan tentu mengganggu tidurnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di malam itu, saya berkeringat banyak, dan beberapa hari kemudian, saya mulai batuk darah. Saya pergi ke klinik untuk berobat. Hasil rontgen saya menunjukkan bahwa saya positif TBC, jadi dokter meresepkan beberapa obat TBC," kenang Budi, saat dihubungi detikcom, ditulis Rabu (7/8/2024).

Budi yang tak tahu banyak soal TBC saat itu mengaku tak ambil pusing untuk rutin memeriksakan diri ke dokter. Terlebih, tiga bulan setelah pengobatan, kondisinya sudah jauh lebih baik. Budi pikir, ia sudah sepenuhnya bebas dari TBC.

ADVERTISEMENT

"Jadi saya tidak mau repot-repot memeriksakan diri ke dokter lagi," lanjut dia.

Tepat tujuh bulan setelahnya, Budi ternyata malah mengalami gejala lebih parah. Batuk tak kunjung berhenti dan darah yang keluar lebih banyak. Budi bergegas kembali ke rumah sakit.

Kali ini, dokter menyarankan Budi untuk meminum obat hingga pengobatan selesai. "Kalau dipikir-pikir, edukasi tentang TBC saat itu masih kurang. Seharusnya saya disarankan untuk minum obat sampai pengobatan selesai di awal dinyatakan TBC."

Rupanya, pengobatan Budi tidak semudah yang dibayangkan. Budi juga sudah mencoba berbagai jenis terapi non medis selama beberapa tahun, tetapi kondisinya tak berangsur membaik. Sampai di 2011, ia berkenalan dengan seorang dokter muda.

"Berdasarkan hasil tes dahak, TB saya masih positif, jadi ia menyarankan untuk mengangkat sebagian paru-paru saya yang terinfeksi," tuturnya.

Beban terasa semakin berat, bukan hanya secara fisik dan psikis, tabungan Budi rasanya sudah terkuras habis. Kini, harus memikirkan biaya operasi yang sangat mahal.

"Jadi saya butuh waktu untuk membicarakannya dengan keluarga."

Dua bulan kemudian, Budi kembali ke RS berniat untuk melanjutkan operasi. Bak mukjizat, Budi rupanya diberikan kesempatan untuk pengobatan baru yang sudah tersedia di Indonesia, sehingga tak perlu melakukan operasi.

"Dokter menjelaskan bahwa kemungkinan besar saya terinfeksi TB-MDR, suatu bentuk TBC yang tidak merespons dua obat anti-TBC yang paling manjur. Hanya ada satu layanan TB-MDR di Indonesia, yaitu di Rumah Sakit Persahabatan di Jakarta."

Sayangnya, perjuangan Budi tak selesai sampai di situ. Pria yang berdomisili di Bogor tersebut harus menghadapi kenyataan jika dalam waktu yang lama, ia harus bolak-balik Jakarta.

"Saya tinggal di Bogor, jadi bepergian ke Jakarta setiap hari terasa tidak tertahankan. Namun, ketakutan terbesar saya adalah menulari keluarga saya sendiri. Saya kemudian bertanya kepada dokter bagaimana jika berada di posisi seperti saya. Kemudian dokter meyakinkan saya, kalau TBC bisa disembuhkan dan saat itu baru ada harapan."

Dulu, untuk mendapatkan hasil tes dahak saja membutuhkan waktu tiga bulan, mengingat di 2011 Indonesia belum memiliki tes molekuler cepat.

"Tiga bulan kemudian, hasil tes menyatakan bahwa saya mengidap TBC-MDR dan harus menjalani perawatan intensif. Saya pindah dari rumah keluarga saya di Bogor dan menyewa kamar di dekat rumah sakit. Itu adalah dua tahun yang paling melelahkan dalam hidup saya. Saya terkuras secara fisik dan psikologis, dan saya kehilangan sebagian besar tabungan saya dalam dua tahun."

"Saya ngontrak nggak pulang Jakarta-Bogor dikarenakan saya tahu kalau sampai tertular sama anak, sama istri, ini bakal bagaimana. Karena buat saya sendiri saja ini suatu siksaan," kenangnya.

Dalam perjalanan pemulihan, rasa putus asa nyaris selalu sulit dihindari. Terlebih, dalam masa pengobatan yang berlangsung dalam kurun waktu hampir dua tahun, ia harus menelan 26 butir obat secara rutin.

"Saya cuma bilang sama istri 'Sudah ah nggak mau minum obat, malas'. Nggak lama, telepon saya berdering anak saya yang nyuruh minum obat. 'Ayo Ayah minum obat yah, buat Bagas,'" tutur Budi.

"Saya minum. Saya mau sehat ngeliat anak saya tumbuh besar. Dulu itu yang ada di pikiran saya umur nggak lama, dokter bahkan pernah bilang nggak lebih dari dua tahun. Saya sebenarnya harapan yang pengobatan 10 tahun pertama itu juga sudah hilang harapan. Saya nggak akan tinggal lama lagi," cerita Budi.

Titik Balik Hidup Budi

Terkena TBC menurutnya adalah titik balik hidup. Ia berjanji saat sembuh akan mendedikasikan hidupnya untuk membantu pasien lain yang tidak seberuntung dirinya.

Hari bahagia Budi sekaligus penepatan janjinya tiba pada 14 April 2013, paru-paru Budi dinyatakan bersih dari TBC. "Banyak pasien TBC berasal dari rumah tangga miskin. Karena stigma, beberapa dari mereka berisiko kehilangan pekerjaan."

Pria 46 tahun itu kini fokus membantu memastikan hak-hak pasien TBC yang juga mengalami diskriminasi di tempat kerja, agar tidak menghambat finansial mereka selama pengobatan. Melalui Perhimpunan Organisasi Pasien (POP) TB, ia aktif melibatkan masyarakat untuk melakukan kunjungan rumah dan membantu pasien TBC selama perawatan mereka.

"Waktu terus berjalan. Kita perlu menemukan cara baru dan efektif untuk menghentikan TBC. Mari bekerja sama untuk menyelamatkan bangsa dari TBC," pesan dia.

NEXT: Pengembangan Obat TB RO

Berkaca dari kasus Budi, salah satu hambatan putusnya pengobatan orang dengan TBC hingga akhirnya mengalami resisten obat adalah minim fasilitas kesehatan. Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr dr Erlina Burhan yang juga berpraktik di RSUP Persahabatan mengamini hal itu.

Nyaris seluruh pasien TBC RO dari banyak daerah hanya bisa dirawat di RSUP Persahabatan, sehingga banyak tenaga dokter kerap kewalahan.

Namun, seiring berjalannya waktu, pengobatan pasien TBC resisten obat mulai terus berkembang dan bisa dilakukan di banyak RS lain.

"Pengobatan TBC RO sekarang memang ada kemajuan, dulu kan terstandar ya sekitar 18 hingga 24 bulan, berarti dua tahun, itu di rentang 2016 sampai 2019 lah. Tapi kemudian sejak 2017 pengobatan pasien TB RO ini menjadi lebih pendek yaitu di 9 bulan sampai 11 bulan," jelasnya, saat dihubungi detikcom secara terpisah.

"Nah terakhir, di 2023, pengobatan kami sudah lebih advance, pasien TB RO bisa hanya 6 bulan saja, yang kita tahu kan 6 bulan itu sebelumnya hanya yang sensitif obat ya," beber dia.

Kebutuhan Bantuan Sosial Pasien TBC

Meski pengobatan pasien TBC RO bisa diakses gratis, kendala yang dihadapi banyak orang dengan TBC adalah biaya hidup termasuk transportasi dan kehilangan upah karena pekerjaan terhambat. Hal ini juga disinggung Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Imran Pambudi.

Pihaknya menyebut sedang mengkaji kebutuhan pembiayaan hidup dengan TBC, termasuk berapa besaran yang bisa diberikan. Hasil kajian tersebut kemudian akan diberikan ke Kemenko PMK sebagai kementerian yang berwenang untuk melanjutkan pemberian bantuan sosial bersama dengan Kemensos.

Imran menyebut diperlukan pula bantuan renovasi rumah pasien TBC. Mengingat, rumah tidak layak tinggal rentan memudahkan penularan semakin meluas.

"Kita pastinya mendukung agar pasien TBC bisa mendapatkan bantuan sosial," tandasnya saat ditemui baru-baru ini, di kawasan Jakarta Selatan.

Sebagai catatan, laporan Stop TB Partnership Indonesia (STPI) menunjukkan pasien TBC RO dengan latar belakang ekonomis miskin, bahkan hanya berpenghasilan Rp 2 juta mencapai 54 persen.

Studi pada 2022 tersebut juga merinci 79 persen rumah tangga pasien TBC RO menghadapi pengeluaran lebih banyak di luar pendapatan, rata-rata berkisar satu hingga empat juta per bulan.

Pemerintah diminta memberikan bantuan sosial ideal kepada orang dengan TBC. Program Manager STPI, Nurliyanti menyoroti beban finansial juga mulai dirasakan masyarakat ekonomi menengah yang kehilangan pekerjaan saat terpapar TBC.

"Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial diharapkan bersinergi dalam melakukan integrasi data, perencanaan, implementasi intervensi, serta monitoring dan evaluasi untuk penyelenggaraan perlindungan sosial tersebut," desak Nurliyanti dalam diskusi media terkait TBC, belum lama ini.

Menurut Global TB Report 2022, kasus TBC RO diperkirakan mencapai 28.000 kasus dari total 969.000 kasus TBC yang ada di Indonesia pada 2021. Data WHO Indonesia juga menunjukkan Tanah Air menduduki peringkat ke-8 dari 27 negara dengan kasus MDR tertinggi. Jelas, Indonesia masih jauh dari target eliminasi atau bebas TBC di 2030.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video Pramono Targetkan Seluruh RW di Jakarta Jadi Kampung Siaga TBC 2030"
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)

Berita Terkait