Calon gubernur Jakarta nomor urut 2 Dharma Pongrekun menyebut pandemi adalah agenda terselubung untuk mengambil alih kedaulatan negara. Hal ini dia sampaikan saat debat perdana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta.
"Saya paham betul tentang pandemi ini agenda terselubung dari asing untuk mengambil alih kedaulatan negara," kata Pongrekun.
Bagaimana faktanya?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak kemunculan COVID-19, informasi palsu, termasuk disinformasi yang disengaja dan teori konspirasi, mengenai skala pandemi COVID-19 dan asal usul, pencegahan, diagnosis, banyak beredar di masyarakat.
Pada bulan Januari 2020, BBC melaporkan berkembangnya isu teori konspirasi dan nasihat kesehatan yang buruk terkait COVID-19. Contohnya pada saat itu termasuk nasihat kesehatan palsu yang dibagikan di media sosial dan obrolan pribadi, serta teori konspirasi seperti wabah yang direncanakan dengan partisipasi Pirbright Institute.
Di bulan yang sama, The Guardian mencantumkan tujuh contoh misinformasi terkait pandemi, menambahkan teori konspirasi tentang senjata biologis dan kaitannya dengan teknologi 5G.
Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Reuters Institute for the Study of Journalism, sebagian besar misinformasi terkait COVID-19 melibatkan "berbagai bentuk konfigurasi ulang, yaitu informasi yang sudah ada dan seringkali benar, diputarbalikkan, dipelintir, dikontekstualisasikan ulang, atau dikerjakan ulang", lebih sedikit informasi yang salah "sepenuhnya dibuat-buat".
Penyebaran COVID-19 dinarasikan sebagai pandemi yang terencana kerap disebut "plandemic" oleh kelompok teori konspirasi. Informasi mengenai asal usul COVID yang sampai saat ini menjadi misteri merupakan celah yang banyak digunakan untuk memunculkan teori konspirasi.
Teori konspirasi yang umum di masa pandemi COVID-19 menyatakan bahwa virus tersebut sengaja direkayasa, baik sebagai senjata biologis atau untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan vaksin. Faktanya, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) manipulasi genetik telah dikesampingkan melalui analisis genom.
Pada bulan Februari 2020, WHO menggambarkan sebuah "infodemik besar-besaran", dengan mengutip banyaknya informasi yang dilaporkan, yang ternyata salah, tentang virus COVID yang "membuat orang sulit menemukan sumber yang dapat dipercaya dan panduan yang dapat diandalkan ketika mereka berada dalam kondisi yang buruk."
Hingga saat ini tidak ada bukti yang mendukung klaim bahwa pandemi COVID-19 merupakan hasil rekayasa atau agenda terselubung.
Next: Tanggapan eks petinggi WHO
Mengenai pernyataan terkait tes COVID yang dilontarkan Dharma Pongrekun, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menjelaskan tes Polymerase chain reaction test atau tes PCR adalah prosedur pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari suatu bakteri atau virus. Tes PCR bisa digunakan untuk mendeteksi beragam virus, bukan hanya saat pandemi.
"Ada atau tidak adanya pandemi, maka PCR dapat digunakan untuk deteksi materi genetik bakteri atau virus," ujar Prof Tjandra saat dihubungi detikcom, Senin (7/10/2024).
Terkait penamaan COVID-19, Prof Tjandra mengatakan ada proses dan tujuan berbeda dalam memberi nama virus dan penyakit. Berdasarkan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit diberi nama untuk memungkinkan diskusi mengenai pencegahan, penyebaran, penularan, tingkat keparahan dan pengobatan penyakit.
"Tentang penaman COVID makan tentu kepanjangannya adalah Corona Virus Disease, sesuai yang disampaikan oleh WHO. Contoh lain yang menggunakan penamaan seperti ini adalah Nipah Virus Diseases (NVD)," tambahnya.











































