Bonus demografi menjadi peluang besar Indonesia untuk melompat menjadi negara maju. Di masa ini, populasi usia produktif yakni mereka yang berusia 15 hingga 64 tahun mencapai proporsi dominan dalam struktur penduduk. Namun, peluang ini bukan tanpa tantangan. Tanpa strategi yang tepat, momentum bonus demografi malah berpotensi menjadi bencana sosial yang membebani generasi mendatang.
Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Sekretaris Utama BKKBN Prof Budi Setiyono, menyampaikan saat ini sekitar 70 persen penduduk Indonesia berada dalam kelompok usia produktif. Namun, tidak semua dari mereka memiliki pekerjaan di sektor formal, dan sebagian besar tidak memberikan kontribusi fiskal secara langsung, utamanya dalam bentuk pajak.
"Kalau mereka tidak produktif, tidak bekerja, atau terpaksa bekerja di sektor informal yang pendapatannya tidak pasti, tentu tidak bisa menyumbang bagi negara. Ini mengancam stabilitas fiskal," ujarnya dalam Orientasi Program Kependudukan Pembangunan Keluarga, dan Keluarga Berencana bagi Jurnalis di UPT Balai Diklat KKB Ambarawa, Sabtu (26/7/2025).
Bahkan, sebagian dari kelompok ini terseret dalam aktivitas kriminal seperti pencurian, pembunuhan, korupsi dan kejahatan lain tekanan ekonomi atas beban biaya hidup menanggung banyak anggota keluarga.
Dalam teori demografi, ketika dua orang produktif harus menggendong satu orang non-produktif anak atau lansia, keluarga tersebut masih bisa mengelola beban ekonomi. Namun faktanya, banyak keluarga justru menghidupi lebih dari itu, anak banyak, orang tua ikut tinggal, sementara pendapatan minim.
"Kalau dua-duanya bekerja dan cuma punya satu anak, tanpa menanggung orang tua, keluarga itu bisa lebih sejahtera. Tapi kalau anaknya banyak dan harus menanggung kanan kiri, maka tanggal 1 gajian, tanggal 5 sudah habis. Hidupnya dari hutang ke hutang," tegas Budi.
Jika tidak dikelola dengan benar, bonus demografi juga akan 'berbalapan' dengan tantangan aging population. Pada 2024, jumlah lansia sudah mencapai 34,8 juta jiwa atau sekitar 12 persen dan diperkirakan akan naik menjadi 65,8 juta jiwa yakni 20,3 persen pada 2045.024.
Belum lagi, kontribusi pajak terhadap PDB Indonesia masih berada di angka 10,31 persen, sangat rendah dibandingkan negara-negara maju seperti Finlandia 59 persen, Jepang 52 persen, dan Korea Selatan 45 persen. Sementara itu, hanya 42 persen dari tenaga kerja Indonesia yang berada di sektor formal. Selebihnya bekerja di sektor informal yang tidak terproteksi dan tidak menyumbang fiskal.
(naf/kna)