Derita Wanita Usia 20 Tak Berhenti Terangsang, Ini Gejala yang Dirasakan

Suci Risanti Rahmadania - detikHealth
Senin, 11 Agu 2025 11:16 WIB
Ilustrasi (Foto: Getty Images/kieferpix)
Jakarta -

Gangguan gairah genital persisten atau Persistent Genital Arousal Disorder (PGAD) adalah kondisi klinis yang hingga kini belum sepenuhnya dipahami. Pengidapnya biasanya mengalami gairah genital yang berlangsung terus-menerus tanpa disertai hasrat seksual. Kondisi ini dapat secara serius mengganggu kehidupan sehari-hari, pekerjaan, bahkan memicu munculnya pikiran untuk bunuh diri pada sebagian pasien.

Sejak pertama kali dideskripsikan pada tahun 2001, laporan kasus PGAD telah dipublikasikan oleh berbagai klinisi dari seluruh dunia. Hingga tahun 2019, International Society for the Study of Women's Sexual Health (ISSWSH) mengeluarkan konsensus ahli pertama mengenai diagnosis dan pengobatan PGAD, sekaligus mengganti istilahnya menjadi PGAD atau Genito-Pelvic Dysesthesia (PGAD atau GPD).

Salah satu contohnya adalah kasus seorang wanita berusia 20 tahun di China yang dipublikasikan dalam jurnal AME Case Reports. Tanpa disebutkan namanya, pasien tersebut diketahui belum menikah dan memiliki riwayat epilepsi. Kondisi epilepsinya ditandai dengan hilangnya kesadaran secara episodik tanpa disertai kejang, jatuh, atau inkontinensia sejak usia 12 tahun.

Gejala yang Dirasakan

Pada usia 15 tahun, pasien pertama kali dirawat di departemen psikiatri dan mendapat terapi obat. Tak lama setelah itu, ia mulai merasakan sensasi seperti aliran listrik yang menjalar dari perut bawah ke perut atas, disertai kontraksi rahim atau otot panggul yang mirip dengan orgasme. Gejala ini muncul beberapa kali sehari, berlangsung beberapa detik, dan terjadi secara hilang-timbul.

Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG) yang dilakukan berulang kali tidak menunjukkan adanya gelombang epilepsi. Gejala berlanjut hingga usia 18 tahun, dan pasien mulai meyakini bahwa orgasme tersebut disebabkan oleh manipulasi orang lain.

Gejala berlanjut hingga usia 18 tahun, dan pasien mulai meyakini bahwa orgasme tersebut disebabkan oleh manipulasi orang lain. Terapi obat membantu mengendalikan kejang dan delusi, sekaligus memulihkan fungsi sosial. Namun, setelah penyesuaian obat (detail tidak diingat pasien akibat penurunan daya ingat), gejala kembali memburuk hingga ia tidak dapat bekerja.

Pasien berasal dari keluarga dengan hubungan harmonis, memiliki prestasi akademik baik sebelum sakit, tidak memiliki riwayat keluarga dengan kondisi serupa, dan tidak pernah mengalami pelecehan seksual. Ia pernah menjalin hubungan romantis singkat, namun menyangkal pernah memiliki pengalaman seksual.




(suc/kna)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork