Program makan bergizi gratis (MBG) yang sedang digencarkan pemerintah kembali menuai kritik setelah berulang kali terjadi kasus keracunan pangan di berbagai daerah. Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, menilai kejadian ini bukanlah insiden wajar, melainkan sinyal kegagalan sistemik dalam tata kelola keamanan pangan.
"Ini bukan soal sekali-dua kali salah masak. Ini kegagalan sistemik food safety dan governance pengadaan," ujar Dicky kepada detikcom, Jumat (26/9/2025).
Menurut Dicky, pola keracunan yang berulang dan bahkan terjadi lintas daerah hampir selalu mengindikasikan adanya masalah di banyak titik rantai makanan.
Masalah pertama biasanya muncul dari kontrol suhu dan waktu. Dalam standar internasional, makanan tidak boleh terlalu lama berada di 'zona bahaya' antara 5 sampai 60 derajat Celsius, karena pada rentang ini bakteri berkembang biak sangat cepat.
Idealnya ada aturan praktis yang disebut '2-jam/4-jam rule', tetapi di lapangan sering dilanggar. Pendinginan cepat menggunakan teknologi seperti blast chiller jarang tersedia, begitu pula fasilitas penyimpanan panas. Akibatnya, makanan yang seharusnya aman justru menjadi medium pertumbuhan bakteri.
Kedua, sistem distribusi dan logistik juga sering tidak sesuai dengan kebutuhan. Banyak makanan yang harus menempuh perjalanan jauh tanpa wadah dingin khusus atau data logger untuk memantau suhu. Kemasan pun kerap tidak kedap udara dan mudah disusupi bakteri.
Ketiga, higiene dan sanitasi dapur, menurutnya masih menjadi persoalan klasik. Mulai dari cuci tangan yang tidak disiplin, peralatan masak yang bercampur antara bahan mentah dan matang, hingga air bersih yang tidak terjamin. Kontaminasi silang menjadi hal sangat mungkin terjadi, apalagi jika tidak ada sistem kontrol hama.
Selain itu, kualitas bahan baku dan pemasok juga rawan. Banyak bahan pangan berisiko tinggi seperti telur, ayam, nasi, santan, atau saus kelapa tidak melalui proses uji mikrobiologi maupun sertifikasi. Dalam praktiknya, pergantian pemasok lebih sering didasarkan pada harga murah atau kejar volume, bukan pada rekam jejak keamanan pangan.
"Tak kalah penting adalah lemahnya sistem mutu dan tata kelola. Standar seperti HACCP atau ISO 22000 yang seharusnya memastikan keamanan pangan, sering kali hanya berhenti di tataran administratif. Audit dilakukan sebatas dokumen, tanpa menelusuri kondisi nyata di lapangan. Kontrak pengadaan pun tidak mencantumkan aturan ketat tentang suhu dan waktu penyajian, apalagi sanksi, mekanisme recall, atau asuransi jika terjadi insiden," sorotnya.
"Terakhir, perencanaan menu juga sering tidak adaptif. Menu dengan bahan rawan, misalnya berbasis santan atau saus basah, tetap disajikan walaupun disimpan berjam-jam pada suhu ruang. Padahal, jenis makanan seperti ini justru paling sering memicu insiden keracunan," lanjutnya.
Simak Video "Video: PM Israel Benjamin Netanyahu Keracunan Makanan Basi"
(naf/kna)