Makan bergizi gratis (MBG) yang merupakan program prioritas pemerintah menjadi sorotan pasca banyaknya kasus keracunan makanan pada anak. Hingga September 2025, sudah tercatat lebih dari 6 ribu kasus.
Hal ini menjadi perhatian para pakar, salah satunya epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. Menurutnya risiko keracunan dapat ditekan dengan penerapan standar sederhana, seperti kontrol suhu, cuci tangan, dan pengawasan yang konsisten.
"Keracunan pangan di sekolah bukan takdir. Ini sinyal sistem yang belum bekerja," tutur Dicky pada detikcom, Jumat (26/9/2025).
"Dengan standar sederhana dan konsisten, kita bisa menekan risiko ini secara signifikan," sambungnya.
Ia menekankan lini pencegahan pertama terkait keracunan ini adalah dapur sekolah, sebelum memperkuat rantai pasok dan sistem pengawasan. Menurutnya, cakupan sertifikasi dan implementasi dari Standard Operating Procedure (SOP) atau Prosedur Operasional Standar atau Petunjuk Operasional Standar masih rendah dan dapat menjadi potensi bahaya.
"Keracunan pangan di sekolah itu dapat dicegah dengan standard hygiene sanitasi dasarnya," tambahnya.
Makanan yang Rentan Terkontaminasi Bakteri
Menurut Dicky, pola kerentanan itu terjadi saat makanan berisiko tinggi, seperti nasi yang merupakan karbohidrat berpati. Itu bisa tercemar bakteri Bacillus cereus.
Selain itu, lauk berprotein bisa tercemar bakteri Staphylococcus aureus dan sayur dengan air yang tidak memenuhi standar, bisa tercemar bakteri E.Coli atau Shigella. Bahkan, jajanan kemasan curah itu juga berisiko ada kandungan kimia.
Dicky menekankan hal-hal tersebut harus dipahami risikonya. Selain itu, titik kendali kritis yang sering gagal adalah ketika air dan es itu tidak aman.
"Jadi adanya cross contamination ya, seperti di pisaunya, talenannya, pendinginan yang lambat, atau pemanasan ulang itu tidak mencapai 74 derajat Celsius. Kemudian, ada juga adanya jeda suhu bahaya antara 5 sampai 60 derajat Celsius di atas 4 jam," jelas Dicky.
"Higienitas penjamah yang buruk, artinya dia tidak sering cuci tangan, tidak pakai sarung tangan, tidak pakai masker, kukunya juga kotor, atau tidak juga pakai penutup rambut. Ini yang sering gagal dan tidak konsisten," lanjutnya.
(sao/kna)