Bukan Cuma soal Faskes, Pakar Singgung Harga Pangan ke Dampak Kesehatan

Bukan Cuma soal Faskes, Pakar Singgung Harga Pangan ke Dampak Kesehatan

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Kamis, 20 Nov 2025 16:00 WIB
Bukan Cuma soal Faskes, Pakar Singgung Harga Pangan ke Dampak Kesehatan
Ilustrasi dokter. (Foto: Dok. Shutterstock)
Jakarta -

Pakar kesehatan Prof Dr dr Noroyondo Wibowo, SpOG, Subsp KFM menilai akar persoalan kesehatan masyarakat Indonesia bukan hanya soal fasilitas layanan atau pengobatan, tetapi pada lemahnya pendekatan preventif dan promotif yang seharusnya menjadi fondasi utama pembangunan kesehatan nasional.

Menurut Prof Bowo, pemerintah masih terlalu berorientasi pada kuratif karena tidak memiliki basis data yang kuat terkait pola makan, asupan nutrisi, serta kondisi kesehatan masyarakat pada tingkat provinsi.

"Pola pikirnya harus diubah. Selama ini kan lebih banyak kuratif karena tak pernah ada upaya untuk mengumpulkan data dari setiap provinsi terkait kondisi kesehatan warga di sana. Pola intake-nya, nutrisinya, nggak pernah ada," ujarnya saat menjadi pembicara dalam peresmian Prodia Clinical Multiomics Centre di Prodia Tower Jakarta, Minggu (16/11/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Data Nutrisi Daerah Dinilai Kunci Pencegahan Penyakit

Prof Bowo menegaskan pemerintah perlu memahami perbedaan pola makan antarwilayah. Dari data tersebut, kata dia, bisa diidentifikasi pola penyakit dan dirumuskan strategi pencegahan yang sesuai karakter daerah.

ADVERTISEMENT

"Dari semua data itu nantinya akan bisa diolah untuk menemukan pola kesakitan atau pola penyakit dari wilayah tersebut," katanya.

Ia menyebut sudah ada sejumlah survei, tetapi belum menggunakan penanda biologis (marker) yang memadai sehingga tidak cukup kuat untuk menjadi dasar kebijakan kesehatan populasi.

Prof Bowo menilai peningkatan derajat kesehatan tidak bisa hanya ditumpukan pada Kementerian Kesehatan. Menurutnya, Menkes harus mampu membangun sinergi lintas kementerian karena banyak faktor penentu kesehatan berada di luar sektor kesehatan.

"Seorang Menteri Kesehatan nggak bisa mengupayakan kesehatan itu sendiri. Dia harus bisa melobi Kementerian Pertanian, logistik di PU, perdagangan, semuanya," ujarnya.

Ia mencontohkan kondisi harga pangan, khususnya protein hewani, yang dinilai terlalu mahal bagi masyarakat.

"Kalau harga daging Rp150.000 per kilogram, bagaimana masyarakat bisa mengakses protein hewani di tengah rendahnya daya beli?" katanya.

Harga Pangan Terjangkau Dinilai Lebih Efektif daripada Bansos

Prof Bowo menilai perbaikan akses pangan akan berdampak lebih besar dibandingkan program bantuan gizi atau program intervensi jangka pendek.

"Sebetulnya, kan nggak perlu ada MBG dan sebagainya kalau pangannya terjangkau. Semua ibu-ibu juga ingin kasih makan anaknya yang terbaik," ujarnya.

Ia menyebut idealnya harga pangan pokok dan sumber protein turun signifikan agar masyarakat mampu memenuhi kebutuhan gizi tanpa bergantung pada bantuan pemerintah.

Prof Bowo menegaskan pembangunan kesehatan harus dilakukan dalam kerangka jangka panjang dan berbasis data nutrisi serta pola penyakit setiap daerah. Dengan informasi tersebut, Menkes dapat mengoordinasikan kebijakan dengan kementerian lain secara terarah.

"Menteri Kesehatan bisa ngomong ke Mendagri dan Menteri Pertanian, daerah sini butuh tanaman ini, yang daerah sana butuh tanaman itu, karena di daerah itu banyak yang sakit ini-ini," katanya.

Ia juga menyinggung pentingnya akses jalan, pasar pangan segar, dan infrastruktur pendukung yang berada di luar ranah Kemenkes namun sangat menentukan kondisi kesehatan masyarakat.

Halaman 2 dari 2
(naf/naf)

Berita Terkait