Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyoroti inflasi biaya kesehatan yang jauh melampaui pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menkes menyebut biaya layanan medis di Indonesia naik sekitar 9 sampai 11 persen setiap tahun, sementara pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hanya berada di angka 5,2 persen.
"Ini persis seperti suami naik gaji 5 persen, istri minta 11 persen. Nggak mungkin ketemu," kata Budi di Jakarta, Jumat (12/12/2025).
Menurutnya, pola tersebut terjadi hampir di seluruh dunia, tetapi di Indonesia efeknya bisa lebih berat karena struktur pembiayaan kesehatan masih terus berkembang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budi menekankan peran BPJS Kesehatan menjadi sangat krusial untuk menahan laju inflasi. Namun, ia mengingatkan tugas BPJS bukan untuk menjadi lembaga yang 'dicintai' fasilitas kesehatan, melainkan lembaga yang mampu menjaga agar biaya layanan tidak melonjak tanpa kendali.
"Kalau Pak Ghufron (Direktur Utama BPJS Kesehatan) itu dicintai seluruh rumah sakit, itu berarti beliau nggak perform. Tapi kalau semua rumah sakit antre pengen kerja sama dengan BPJS, tapi sambil misu-misu, maki-maki, cela-cela, itu artinya Pak Ghufron perform sekali," ujar Budi sambil menegaskan bahwa keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan penyedia layanan adalah pekerjaan yang sangat rumit.
Menurut Menkes, BPJS Kesehatan adalah satu-satunya wakil masyarakat yang mampu menahan tekanan dari sisi penyedia layanan, dokter, klinik, rumah sakit, farmasi yang ingin tarif lebih tinggi, pendapatan lebih besar, dan keuntungan maksimal.
Sementara di sisi lain, masyarakat berharap layanan kesehatan bisa diakses semurah mungkin.
"Supply side pasti pengen mahal. Sedangkan masyarakat maunya semurah-murahnya. Nah, keseimbangan inilah yang Pak Ghufron harus kejar," kata Budi.
Ia menambahkan bahwa sektor kesehatan memiliki karakter unik yang sangat berbeda dengan sektor ekonomi lain karena minimnya transparansi harga. Budi mencontohkan bagaimana biaya operasi sederhana dapat memiliki perbedaan harga ekstrem antarnegara.
"Gimana bisa, apendiktomi di Amerika 25 ribu dolar. Di Singapura 12 ribu dolar. Di Indonesia seribu dolar. Hanya di sektor kesehatan gap-nya bisa sampai 500 sampai 1000 persen," ujarnya.
"Itu karena tidak adanya transparansi dari lainnya kesehatan, sehingga gapnya besar sekali. Yang menderita siapa? Masyarakatnya. Untuk the same procedures bedanya bisa 3 kali lipat, 4 kali lipat."
Ia membandingkannya dengan apa yang terjadi di sektor keuangan. "Kalau tukar dolar di Amerika, di Changi, di Belanda, selisihnya paling 5 persen. Nggak pernah 500 persen."
Pemerintah, kata Budi, wajib menyediakan sumber daya yang menjadi fondasi pengendalian biaya kesehatan, mulai dari tenaga kesehatan, regulasi yang kuat, hingga ketersediaan obat yang murah.
"Pemerintah harus kasih alat-alatnya, kasih orang-orangnya, dan memastikan obat-obatnya tersedia dengan harga rendah. BPJS memanfaatkan resource itu untuk menyeimbangkan tekanan dari dua sisi," ujarnya.











































