Dampak Gray Divorce yang Tak Terlihat: Lansia Kesepian-Risiko Depresi Meningkat

Dampak Gray Divorce yang Tak Terlihat: Lansia Kesepian-Risiko Depresi Meningkat

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Selasa, 16 Des 2025 16:00 WIB
Dampak Gray Divorce yang Tak Terlihat: Lansia Kesepian-Risiko Depresi Meningkat
Foto: Getty Images/RapidEye
Jakarta -

Fenomena perceraian di usia lanjut atau gray divorce kian menjadi sorotan, terutama ketika perpisahan terjadi saat anak-anak telah dewasa dan mandiri. Di balik keputusan yang kerap dianggap sebagai 'hak pribadi', gray divorce menyimpan berbagai dampak jangka panjang bagi keberlangsungan hidup para lansia, baik secara psikologis, sosial, maupun ekonomi.

Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan RI, dr Imran Pambudi, MPHM, menegaskan dampak gray divorce tidak bisa dilihat semata-mata dari sisi kesehatan fisik.

"Dampak gray divorce ini harus dilihat secara komprehensif, tidak bisa hanya dilihat dari sisi kesehatan saja," beber Imran saat dihubungi detikcom Selasa (16/12/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kehilangan Identitas hingga Risiko Depresi

ADVERTISEMENT

Secara psikologis, Imran menjelaskan, perceraian setelah puluhan tahun menikah dapat memicu kehilangan identitas diri, terutama pada pasangan yang selama ini mendefinisikan hidupnya melalui peran dalam pernikahan.

"Banyak pasangan lansia yang sudah lama melekatkan identitas dirinya sebagai suami atau istri. Ketika pernikahan berakhir, muncul kekosongan peran yang tidak sederhana," kata Imran.

Selain itu, gray divorce juga berpotensi menimbulkan kesepian dan duka yang kompleks, karena bukan hanya kehilangan pasangan, tetapi juga kehilangan rutinitas, kebiasaan, dan rasa kebersamaan yang dibangun selama puluhan tahun.

"Risiko depresi dan kecemasan juga meningkat. Walaupun memang ada sebagian kecil orang yang merasa lega atau terbebas setelah bercerai, saya tidak yakin jumlahnya besar," ujarnya.

Tekanan Sosial dan Masalah Ekonomi

Dari sisi sosial dan ekonomi, Imran menyebut perceraian di usia tua kerap berujung pada penurunan stabilitas finansial. Pembagian aset, biaya hidup yang meningkat karena harus hidup terpisah, hingga keterbatasan kemampuan bekerja di usia lanjut menjadi tantangan tersendiri.

"Bagi lansia, memulai ulang kehidupan ekonomi itu jauh lebih berat dibandingkan usia muda," kata Imran.

Relasi dengan anak-anak yang sudah dewasa juga dapat mengalami perubahan. Dalam beberapa kasus, dinamika keluarga menjadi lebih rumit, terutama jika anak harus berperan sebagai penopang emosional atau ekonomi bagi salah satu orang tua.

Tak hanya itu, jaringan sosial pun berpotensi menyempit. Lingkar pertemanan yang sebelumnya dibangun sebagai pasangan sering kali ikut terputus setelah perceraian.

"Teman-teman 'pasangan' bisa hilang. Ini memperbesar risiko isolasi sosial di usia tua," tambahnya.

Melihat kompleksitas dampak tersebut, Kemenkes memandang gray divorce perlu disikapi dengan pendekatan healthy aging yang menyeluruh.

"Pendekatan healthy aging yang diterjemahkan secara komprehensif mungkin bisa menjawab masalah ini," ujar Imran.

Pendekatan tersebut tidak hanya menekankan kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental, dukungan sosial, kesiapan ekonomi, dan kebermaknaan hidup di usia lanjut. Dengan begitu, baik pasangan yang masih mempertahankan pernikahan maupun mereka yang telah bercerai dapat tetap menjalani masa tua dengan kualitas hidup yang lebih baik.

Halaman 2 dari 2
(naf/naf)

Berita Terkait