Studi membuktikan bahwa kondisi ini merupakan salah satu efek yang sering muncul apabila seseorang terlalu stres. Sebab kondisi mental tersebut terbukti memengaruhi atau bahkan mengubah cara tubuh dalam memproses makanan berlemak. Ini tentu berujung pada bertambahnya berat badan.
Jika otak diketahui mengubah fungsi otak yang mengatur nafsu makan, namun sayangnya tidak bagi indra perasa alias lidah. Studi lain justru membuktikan bahwa saat stres, makanan seenak apapun yang kita konsumsi justru akan terasa tak seenak biasanya.
Untuk sampai pada kesimpulan ini, para peneliti di University of Geneva membagi responden yang terdiri atas para remaja menjadi dua kelompok: kelompok pertama diberikan efek stres berupa perendaman tangan di air dingin, sementara kelompok kedua diberikan perendaman tangan di air hangat (yang memberikan efek rileks).
Setelah perendaman tangan, kedua kelompok diberikan kesempatan untuk mencium aroma cokelat dan menjelaskan seberapa menyenangkan aroma tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pertama memiliki penjelasan tiga kali lebih banyak energi dibandingkan kelompok kedua.
"Kebanyakan dari kita saat mengalami peningkatan keinginan untuk makan, tapi rasanya justru tak seenak biasanya. Ini berarti stres memiliki pengaruh yang signifikan pada fungsi tertentu otak, yang memengaruhi kedua hal tersebut," ungkap penulis studi, Eva Pool, dikutip dari Medical Daily, Senin (5/1/2015).
Studi sebelumnya juga membuktikan bahwa stres mengubah cara tubuh dalam memproses makanan berlemak. Disebutkan bahwa wanita yang stres atau depresi membakar kalori dan lemak lebih lambat tujuh jam setelah makan burger atau junk food. Kadar insulin dan kortisolnya juga tinggi, padahal keduanya sama-sama mendorong tubuh untuk menyimpan lemak tak sehat di perut maupun bagian tubuh lainnya.
(ajg/up)