Padahal menurut dokter dari Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran UI, dr Trevino A. Pakasi, MS, PhD, prinsip yang keliru semacam ini berisiko membuat anak mengalami defisiensi zat mikronutrien.
"Orang tua masih ada yang berpikir bahwa yang terpenting anaknya kenyang, jadi makanan yang diberikan tidak memerhatikan zat gizi," tutur dr Trevino, dalam acara 'Changing a Child's Life: The Importance of Fortification', yang diadakan di Hotel Double Tree, Jl Pegangsaan Timur, Jakarta, Senin (11/5/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
dr Trevino menilai praktik pemberian MPASI di Indonesia belum sesuai dengan rekomendasi WHO. Hal inilah yang kemungkinan menjadi salah satu penyebab masih tingginya angka malnutrisi di Indonesia.
"Kadang pemberian MPASI juga sumber-sumbernya kurang bervariasi. Yang diberikan itu-itu saja dan tidak lengkap. Seharusnya kan memenuhi empat macam sumber yakni karbohidrat, protein, vitamin, dan lemak," tegas dr Trevino.
Seringkali gejala anemia yang tampak pada anak tak terlalu menonjol, sehingga kemungkinan bisa 'luput' dari perhatian orang tua.
"Kekurangan zat mikronutrien pada anak itu biasanya tersembunyi, tidak kelaparan seperti kurang nasi. Tapi karena fungsi mikronutrien memegang kunci metabolisme, fungsinya terganggu. Ini hidden hunger. Gejala yang paling menonjol mungkin misalnya seperti kurang aktif atau terlihat selalu lemas," imbuhnya.
Baca juga: Variasikan MPASI Seperti Ini untuk Cegah Risiko Anemia pada Anak
(ajg/vit)











































