Dayle Byrom (20 tahun) memiliki ruam seperti kulit terbakar di seluruh tubuhnya saat mengandung anak laki-laki yang diberi nama Jacob. Dokter percaya bahwa hal yang dialaminya ini akibat kondisi langka intoleransi testosteron yang diproduksi oleh bayinya saat ia tumbuh di dalam kandungan.
Byrom pertama kali mengembangkan ruam ketika usia kehamilannya mencapai 20 minggu dan diikuti dengan rasa sakit yang membakar serta gatal-gatal yang tidak bisa ditahan. Kondisi ini membuatnya merasa sangat tidak nyaman dan mulai berpikir untuk mengakiri kehamilannya melalui aborsi.
"Rasa sakit ini semakin buruk, dimulai ketika hamil 20 minggu dan paling buruk ketika usia kehamilan 30 minggu. Kulitku terbakar, saya tidak bisa duduk, sakit saat tersentuh dan yang bisa saya lakukan hanya menggaruk dan menangis," ujar Byrom, seperti dikutip dari Dailymail, Kamis (27/9/2012).
Byrom telah mencoba menggunakan sarung tangan, tapi hal ini tidak cukup membantu karena yang ia inginkan hanya menggaruk. Ia pun sempat merasa bahwa dirinya seharusnya tidak menjadi seorang ibu.
Sebelum berhasil didiagnosis, Byrom telah menemui 10 dokter tapi tidak ada yang bisa memberitahunya apa penyebab ruam tersebut. Ia diberikan segala macam krim antihistamin tapi tidak ada yang membantu.
Jacob akhirnya berhasil dilahirkan pada 6 Mei 2012 dan Byrom pun dirujuk ke dokter kulit di Pontefract Hospital hingga akhirnya didiagnosis dengan Polymorphic Eruption of Pregnancy (PEP) yang biasanya terjadi pada ibu yang pertama kali hamil.
"Dokter meyakinkan bahwa ruam yang timbul disebabkan oleh reaksi alergi terhadap testosteron yang dproduksi saat Jacob tumbuh di dalam diri saya. Kini saya telah merusak kulit saya, dan ada bekas luka yang sangat dalam serta tidak bisa benar-benar sembuh," ungkapnya.
Sampai saat ini PEP masih belum sepenuhnya dipahami oleh para ahli medis. Namun Dr Samantha Vaughan-Jones dari British Association of Dermatologists mengungkapkan PEP lebih sering terjadi pada kehamilan pertama dan kehamilan kembar.
"Saya melakukan riset dan menunjukkan PEP lebih umum terjadi pada perempuan yang mengandung janin laki-laki daripada perempuan, meskipun kesimpulannya belum jelas," ujar Dr Vaughan-Jones.
Sementara itu diperkirakan jika sudah ada kondisi kronis sebelumnya seperti alergi, maka kehamilan bisa berpengaruh misalnya beberapa orang menimbulkan reaksi yang memburuk, tapi justru ada pula yang membaik.
Kondisi yang dialami Byrom ini telah menimbulkan trauma dalam dirinya, bahkan ia sempat tidak mau memiliki anak lagi. Walaupun hal ini tidak berlangsung lama, karena kini ia sudah mulai merasa sedikit lebih percaya diri dan mempertimbangkan anak kedua.
"Saya takut kalau gejala ini akan kembali ketika saya punya anak lagi, tapi saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Meski alergi saya aneh, tapi memiliki Jacob adalah hal terbaik yang pernah saya miliki," ujar Byrom.
(ver/ir)