PKBI mencatat sebagian besar klien KTD yang mereka layani adalah perempuan berstatus menikah (83,4 persen) dan pernah menikah (2,1 persen). Sedangkan klien dengan status belum menikah sebesar 16,16 persen.
Data ini sekaligus menepis anggapan bahwa remaja yang bisa digolongkan ke dalam klien belum menikah merupakan klien aborsi akibat KTD yang paling besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan yang mendorong mereka untuk melakukan aborsi pun beragam. Ada yang berangkat dari faktor sosioekonomi karena jumlah anak yang terlalu banyak, atau jarak umur anak yang terlalu dekat.
"Ada juga yang karena ikatan dinas, jadi ada peraturan dia tidak boleh hamil dulu, tapi karena gagal lalu memutuskan untuk aborsi," imbuh dr Sari.
Baca juga: Hanya untuk Orang-orang Ini, Pengguguran Kandungan Diperbolehkan
Diakui Chatarina Wahyurini, Direktur Eksekutif PKBI, belum menikah kemudian hamil memang mendorong remaja atau siapapun yang mengalami kehamilan semacam ini untuk melakukan aborsi. Sayangnya hal ini tidak dibarengi dengan pemahaman tentang tata cara aborsi yang aman.
"Padahal 11-30 persen kematian ibu itu karena aborsi yang tidak aman," katanya dalam kesempatan yang sama.
Bahkan wanita yang akrab disapa Rini itu menuding salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia yaitu perdarahan bisa jadi adalah karena aborsi yang tidak aman.
"Ini penyebab nomor satu tapi tidak dihitung, jadi cuman dikatakan perdarahan saja," lanjutnya.
Bukan tidak mungkin inilah yang berkontribusi besar dalam menaikkan 'prestasi' Indonesia di kancah ASEAN, sebagai negara dengan AKI tertinggi yaitu 359 kematian per 100.000 kelahiran.
Baca juga: Alat KB Gratis untuk Remaja di AS Turunkan Angka Aborsi Hingga 42 Persen (lll/up)











































