"Remaja lebih stres saat tertekan. Jika tekanan itu mengganggu saat membuat keputusan, benar-benar penting untuk memahami mekanisme saraf yang mendasari hubungan antara tingkat stres yang tinggi dan membuat keputusan yang buruk," kata Adriana Galvan, peneliti di University of California, Los Angeles, seperti dilansir Livescience, Sabtu (25/6/2011).
Untuk mendapatkan kesimpulan tersebut, Galvan telah melakukan pemindaian otak remaja untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik pada tingkat stres remaja, serta proses berpikir dan pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Para remaja menunjukkan aktivasi lebih dalam pada sistem penghargaan otak daripada orang dewasa ketika membuat pilihan berisiko, dan mereka juga membuat pilihan lebih berisiko daripada orang dewasa," kata Galvan.
Menurut Galvan, perbedaan ini mungkin karena perubahan di wilayah otak yang disebut korteks prefrontal, daerah otak yang membantu mengatur perilaku, termasuk konsekuensi pemahaman masa depan dari tindakan seseorang.
"Pada remaja, daerah ini belum matang. Itulah mengapa remaja sering tampak bertindak tanpa sepenuhnya memahami konsekuensi," jelas Galvan.
Ketika remaja mengalami stres, itu mengganggu kemampuannya untuk membuat keputusan. Hela tersebut mengganggu bagaimana fungsi otak di daerah yang masih berkembang, terutama sistem penghargaan dan korteks prefrontal.
Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam ScienceNatio, publikasi online National Science Foundation (NSF).
(mer/ir)











































