Menurut keterangan sang ibu, Dama, saat itu remaja berusia 11 tahun tersebut baru bersiap berangkat sekolah ketika tiba-tiba jempol kakinya merasakan kesemutan hebat, termasuk panas dingin. "Pas berdiri, dia langsung limbung terus langsung jatuh ke kasur lagi. Awalnya yang lumpuh itu ujung kakinya saja trus lama-kelamaan naik ke pantat tapi itu membuatnya lumpuh total," kisah Dama dalam perbincangan dengan detikHealth dan ditulis pada Selasa (4/6/2013).
Tanpa babibu, Dama langsung membawanya ke rumah sakit terdekat yaitu RS Cipto Mangunkusumo. Karena panasnya yang tinggi, dokter mengatakan jika Aldi terkena demam berdarah. Namun orang tua Aldy tak puas karena panas anak ketiga mereka ini tak kunjung turun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan benar saja, dari tes electromyography (EMG) yang dijalani Aldy ditemukanlah titik terang. Namun ini bukanlah kabar gembira karena tepat pada tanggal 23 Mei 2011, Aldy didiagnosis mengidap Guillain Barre Syndrome (GBS). Menurut WebMD, ini adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menyerang sel-sel sarafnya sendiri hingga menimbulkan gejala seperti lemah otot, hilangnya gerakan refleks, dan mati rasa di lengan, kaki, wajah atau bagian tubuh lainnya.
Dama sempat shock karena penyakit yang diidap anaknya bukanlah sembarang penyakit. Apalagi ketika diberitahu jika meski penyakit ini dapat disembuhkan, harga obat-obatannya selangit.
"Kalau di RS itu kan pakai imun, harganya per cc sekitar Rp 4,5 juta. Padahal dikalikan dengan berat badan anak, jadi sekali infus itu katanya saya harus mempersiapkan uang Rp 168 juta. Itu untuk seminggu saja. Kalau nggak berhasil ya, seminggu kemudian harus diinfus lagi," terang ibu empat anak ini.
Ada pengalaman unik sekaligus spiritual yang dialami Dama saat kebingungan memikirkan pengobatan anaknya. Ketika terduduk di bangku rumah sakit, tiba-tiba ada seorang perawat yang menghampirinya. Setelah menanyakan apa yang terjadi pada Dama, perawat itu pun bertanya, "Agama ibu apa?"
"Saya muslim," jawab Dama. "Kalau bingung coba ibu salat. Tapi saya tidak bisa menemani ibu karena saya beda keyakinan dengan ibu," tukas perawat tersebut.
Perawat itu pun membiarkan Dama melaksanakan salat sembari menunggu di luar musala rumah sakit. Namun sehabis salat, Dama kehilangan jejak si perawat dan ia pun tergerak untuk mencari kemana perawat baik hati itu pergi. Ketika ditanyakan ke resepsionis, mereka justru mengaku tak mengenal perawat yang dimaksud.
Namun setelah itu, Dama mendapatkan informasi dari salah satu rekannya bahwa ada sebuah klinik yang sebenarnya ditujukan khusus untuk pasien penyakit stroke di Jakarta yang mungkin dapat mengatasi kondisi Aldy. Klinik yang dimaksud bernama Klinik Trio Sada. Klinik yang dikelola oleh Dr. Hermawan Suryadi Sp.S., ini beralamatkan di Jalan Kemanggisan Raya nomor 9 Jakarta Barat.
Di bulan pertama, untuk sekali menebus obat Dama harus merogoh kocek hingga lima juta rupiah karena sebenarnya di klinik ini Aldy mendapatkan obat-obatan yang sama dengan di rumah sakit biasa. Tak heran jika Dama sempat khawatir akan kekurangan dana.
Tapi yang tak terduga, klinik ini menerima pembayaran secara kredit alias cicilan. "Tergantung kita punyanya berapa. Kalau di rumah sakit kan harus bayar uang muka dulu. Di sini nggak," lanjutnya.
"Setiap hari darahnya dikeluarkan sebanyak 100 cc trus dimasukin lagi ke tubuh. Tapi ini bukan cuci darah lho ya, ini me-refreshing-kan sel-sel darahnya," ujar Dama. Menurut Dama, putranya saat itu masih duduk di bangku SMP kelas VII.
Selain itu, Aldy juga menjalani sejumlah terapi fisik. Misalnya terapi denyut listrik, terapi saraf kaki hingga latihan berdiri atau mengangkat beban dengan berat tertentu. "Kalau kecapekan dia cuma diterapi 10 menit terus berhenti sebentar. Habis itu dimulai lagi terapinya sampai benar-benar bisa berjalan," lanjut Dama.
Beruntung ibu dan anak asal Batam ini bisa tinggal di rumah saudara mereka di Bintaro, Tangerang, selama pengobatan sehingga mengurangi beban yang ditanggung orang tua Aldy. Namun pada bulan kedua, kondisi Aldy berangsur membaik sehingga ia dinyatakan dapat berobat jalan meski harus melakukan perjalanan Batam-Jakarta hampir setiap minggu. Seiring dengan progress yang dialami Aldy, 'jatah' obatnya pun dikurangi karena klinik Trio Sada memberikan pengobatan berjenjang sesuai dengan kebutuhannya. "Terakhir kali pengobatan saya cuma nebus sekitar Rp 600 ribu saja," tutur Dama.
Terapi ini pun takkan ada gunanya tanpa motivasi yang luar biasa dari Aldy agar bisa sembuh sehingga sejauh apapun jarak yang mereka tempuh untuk menjalani terapi setiap harinya tak jadi soal.
Dama pun mengaku menggunakan jasa psikiater untuk membangkitkan kembali kepercayaan diri Aldy. Menurut Dama, Aldy tak mau dibesuk teman-temannya meski dari luar Aldy tak tampak seperti orang sakit, hanya karena malu. Bahkan Aldy meminta pagar rumahnya ditutup dengan plastik agar aktivitasnya di dalam rumah tak terlihat dari luar.
Ajaib, Aldy yang kini berusia 14 tahun itu bisa sembuh hanya dalam waktu dua bulan. Padahal sebelumnya, selain mendapati banyak rumah sakit yang menolak menangani Aldy karena kelangkaan kondisinya, dokter sempat memperkirakan jika Aldy baru akan sembuh total dalam waktu enam bulan. Tapi kenyataan berkata lain.
Apa rahasianya? Dama menuturkan selain mengikuti saran dokter di klinik, ia juga browsing makanan tertentu yang bisa dikonsumsi anak penderita GBS dan yang harus dihindari. Yang harus dihindari adalah makanan berkolesterol.
"Waktu itu saya nemu makanan yang bagus untuk pasien GBS adalah ikan gabus. Itu saya goreng, saya jadiin bola-bola, saya kukus sampe Aldy bosan. Tapi dengan makan itu ternyata kondisinya terus pulih. Pas saya share ke teman-teman juga berhasil," ujar Dama.
"Setiap dua hari sekali saya juga kasih Aldy pisang dan buah-buahan beri seperti stroberi dan bluberi. Itu gunanya untuk mencairkan darahnya," tambahnya.
Setelah ditotal, Dama dan suaminya menghabiskan kocek sekitar Rp 68 juta untuk mengobati anak laki-laki mereka itu sampai dinyatakan all-clear. Dari mana ibu Dama mendapatkan biaya pengobatan anaknya? "Saya kan harus mendampingi anak jadi saya resign. Untuk biayanya semua murni dari kantong saya sendiri. Uang pesangon dari pekerjaan sebelumnya," tutur Dama.
Beruntung suami Dama merupakan apoteker sekaligus memiliki usaha toko obat sehingga kebutuhan sehari-hari keluarganya masih bisa ditopang oleh usaha suaminya. Lagipula suami Dama juga mengerti soal obat.
"Waktu tahu sembuh itu saya ingat banget pas Lebaran, mau bikin foto keluarga. Terus adiknya histeris karena Aldy ngilang padahal kan dia nggak bisa jalan. Kita pada bingung nyarinya. Tahu-tahu dia turun dari lantai atas dan bilang kalau sudah bisa jalan lagi. Kita semua terharu sampai fotografernya ikut nangis lho," tutup Dama.
(vta/vta)











































