5 Fakta Soal TB di Indonesia yang Wajib Anda Ketahui

Hari TB Sedunia

5 Fakta Soal TB di Indonesia yang Wajib Anda Ketahui

- detikHealth
Rabu, 25 Mar 2015 08:32 WIB
5 Fakta Soal TB di Indonesia yang Wajib Anda Ketahui
ilustrasi (Foto: Thinkstock)
Jakarta - Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyakit yang harus diwaspadai di Indonesia. Data yang dimiliki Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa prevalensi TB di Indonesia pada 2013 ialah 297 per 100.000 penduduk dengan kasus baru setiap tahun mencapai 460.000 kasus.

Selain itu, tahukah Anda bahwa Indonesia termasuk dalam negara dengan pengidap TB terbanyak di dunia? Juga fakta bahwa masih ada kelompok masyarakat yang menganggap TB merupakan penyakit kiriman atau guna-guna?

Detikhealth pun merangkum beberapa fakta soal kasus TB di Indonesia, Rabu (25/3/2015). Berikut 5 fakta soal TB di Indonesia yang wajib Anda ketahui:

1. Indonesia Peringkat 4 Negara Pengidap TB Terbanyak

ilustrasi (Foto: Thinkstock)
WHO menyebutkan bahwa tahun 2012 saja ada 8,6 juta orang pengidap TB dan 1,3 juta di antaranya meninggal. Indonesia pun termasuk ke dalam daftar negara dengan pengidap TB terbanyak di dunia.

Saat ini, jumlah negara penduduk terbanyak dunia adalah Tiongkok, India, Brasil dan Indonesia. Karena jumlah penduduk banyak, otomatis jumlah kasus TBnya pun banyak.

"Karena jumlah penduduk Indonesia banyak, ya banyak kasus TB-nya. Tapi kalau dari sisi penanganan kita kan sudah mencapai target MDGs, sudah menjangkau lebih dari 70 perses kasus dan kesembuhan sudah di atas 80 persen," tutur dr Sigit Priohutomo, MPH, Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan.

2. Tiap 1 Jam, Ada 83 Kasus TB Baru di Indonesia

ilustrasi (Foto: Thinkstock)
dr M. Arifin Nawas, SpP(K), MARS. Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengungkapkan bahwa prevalensi kasus TB di Indonesia per tahun 2012 mencapai 730 ribu per tahun atau berarti menjadi 83 kasus baru per jam.

"Sementara untuk angka kematian jumlahnya mencapai 8 kasus TB per jam. Ini tentu harus menjadi perhatian kita semua," ungkapnya.

3. Masih Ada yang Anggap TB Penyakit Kiriman

ilustrasi (Foto: Thinkstock)
dr Windi Yuliarini sebagai dokter umum Puskesmas Moro si Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, bercerita misalnya tentang penyakit tuberkulosis (TB). Banyak warga masih berpikiran bahwa TB yang salah satu gejalanya batuk berdarah adalah 'kiriman' orang lain

"Mereka percayanya ini penyakit kiriman. Sampai pernah ada keluarga yang membawa dukun ke IGD (Instalasi Gawat Darurat) karena ya kepercayaannya itu," kata dr Windi saat ditemui di Puskesmas Moro, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, Kamis (4/3/2015).

Menanggapi hal ini, Menteri Kesehatan Profesor Dr dr Nila Moeloek, SpM(K), yang juga berkesempatan mengunjungi Puskesmas Moro memberikan komentarnya. Ia membenarkan bahwa kepercayaan tradisional tersebut memang sulit untuk diberantas, terutama di daerah.

"Begitu masuk puskesmas, dokter yang banyak, lama-lama itu akan berubah. Tingkat kepercayaan begitu ada yang sakit terus bisa diobati sembuh itu dari mulut ke mulut bisa berubah," ujar Nila.

4. Rutan Penuh, Kasus TB di Lapas Meningkat

ilustrasi (Foto: Thinkstock)
Menurut catatan World Health Organization (WHO) 2014, prevalansi TB di rutan dan lapas Indonesia bisa mencapai 11 hingga 81 kali lebih besar dari populasi umum. Pada tahun 2012 terdapat 1,9 persen populasi masyarakat rutan Indonesia terinfeksi TB, kemudian meningkat menjadi 4,3 persen tahun 2013, dan menjadi 4,7 persen pada tahun 2014.

Dirjen Bina Kesehatan dan Perawatan Narapidana Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Nugroho, mengatakan alasan banyaknya penyebaran TB di lingkungan rutan dan lapas adalah karena fasilitas yang kurang memadai. Terdapat 463 rutan di Indonesia yang berkapasitas 105 ribu orang namun rata-rata diisi sampai 160 ribu orang.

"Tata ruangan khusus untuk isolasi belum ada. Jadi sementara ini meminjam sel isolasi pelanggar di dalam. Dengan penghuni yang overkapasitas kita kesulitan mencari ruangan untuk sementara mengisolasi pasien terduga TB," ujar Nugroho ketika ditemui di Rutan Kelas 1 Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (24/2/2015).

5. Pasien TB Tak Diobati, Berisiko Tularkan Kuman Super

ilustrasi (Foto: Thinkstock)
MDR-TB merupakan sejenis infeksi TB, disebabkan oleh kuman yang sudah kebal terhadap beberapa jenis obat TB. Pengobatannya berbeda dengan TB biasa, buruh waktu 19-24 bulan dan membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal. Namun sebenarnya, tetap bisa sembuh asal diobati.

"Dari sekitar 1.000 kasus yang terkonfirmasi MDR-TB, cuma 800 yang akhirnya berobat," kata Dr Erlina Burhan, MSc, SpP(K), pakar penanggulangan TB dari RS Paru Persahabatan, Rabu (22/10/2014).

Berbagai faktor tersebut membuat penanggulangan TB tidak pernah bisa optimal. Ketika seorang pasien tidak berobat, apalagi juga termasuk kategori MDR-TB, maka kuman yang ada dalam tubuhnya sangat berisiko menyebar lewat droplet atau bercak dahak yang keluar saat batuk.

"Mereka yang tidak berobat itu menjadi sumber penularan. Dan di masyarakat, sulit dikenali karena tidak semua bergejala," kata Dr Erlina.
Halaman 2 dari 6
WHO menyebutkan bahwa tahun 2012 saja ada 8,6 juta orang pengidap TB dan 1,3 juta di antaranya meninggal. Indonesia pun termasuk ke dalam daftar negara dengan pengidap TB terbanyak di dunia.

Saat ini, jumlah negara penduduk terbanyak dunia adalah Tiongkok, India, Brasil dan Indonesia. Karena jumlah penduduk banyak, otomatis jumlah kasus TBnya pun banyak.

"Karena jumlah penduduk Indonesia banyak, ya banyak kasus TB-nya. Tapi kalau dari sisi penanganan kita kan sudah mencapai target MDGs, sudah menjangkau lebih dari 70 perses kasus dan kesembuhan sudah di atas 80 persen," tutur dr Sigit Priohutomo, MPH, Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan.

dr M. Arifin Nawas, SpP(K), MARS. Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengungkapkan bahwa prevalensi kasus TB di Indonesia per tahun 2012 mencapai 730 ribu per tahun atau berarti menjadi 83 kasus baru per jam.

"Sementara untuk angka kematian jumlahnya mencapai 8 kasus TB per jam. Ini tentu harus menjadi perhatian kita semua," ungkapnya.

dr Windi Yuliarini sebagai dokter umum Puskesmas Moro si Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, bercerita misalnya tentang penyakit tuberkulosis (TB). Banyak warga masih berpikiran bahwa TB yang salah satu gejalanya batuk berdarah adalah 'kiriman' orang lain

"Mereka percayanya ini penyakit kiriman. Sampai pernah ada keluarga yang membawa dukun ke IGD (Instalasi Gawat Darurat) karena ya kepercayaannya itu," kata dr Windi saat ditemui di Puskesmas Moro, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, Kamis (4/3/2015).

Menanggapi hal ini, Menteri Kesehatan Profesor Dr dr Nila Moeloek, SpM(K), yang juga berkesempatan mengunjungi Puskesmas Moro memberikan komentarnya. Ia membenarkan bahwa kepercayaan tradisional tersebut memang sulit untuk diberantas, terutama di daerah.

"Begitu masuk puskesmas, dokter yang banyak, lama-lama itu akan berubah. Tingkat kepercayaan begitu ada yang sakit terus bisa diobati sembuh itu dari mulut ke mulut bisa berubah," ujar Nila.

Menurut catatan World Health Organization (WHO) 2014, prevalansi TB di rutan dan lapas Indonesia bisa mencapai 11 hingga 81 kali lebih besar dari populasi umum. Pada tahun 2012 terdapat 1,9 persen populasi masyarakat rutan Indonesia terinfeksi TB, kemudian meningkat menjadi 4,3 persen tahun 2013, dan menjadi 4,7 persen pada tahun 2014.

Dirjen Bina Kesehatan dan Perawatan Narapidana Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Nugroho, mengatakan alasan banyaknya penyebaran TB di lingkungan rutan dan lapas adalah karena fasilitas yang kurang memadai. Terdapat 463 rutan di Indonesia yang berkapasitas 105 ribu orang namun rata-rata diisi sampai 160 ribu orang.

"Tata ruangan khusus untuk isolasi belum ada. Jadi sementara ini meminjam sel isolasi pelanggar di dalam. Dengan penghuni yang overkapasitas kita kesulitan mencari ruangan untuk sementara mengisolasi pasien terduga TB," ujar Nugroho ketika ditemui di Rutan Kelas 1 Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (24/2/2015).

MDR-TB merupakan sejenis infeksi TB, disebabkan oleh kuman yang sudah kebal terhadap beberapa jenis obat TB. Pengobatannya berbeda dengan TB biasa, buruh waktu 19-24 bulan dan membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal. Namun sebenarnya, tetap bisa sembuh asal diobati.

"Dari sekitar 1.000 kasus yang terkonfirmasi MDR-TB, cuma 800 yang akhirnya berobat," kata Dr Erlina Burhan, MSc, SpP(K), pakar penanggulangan TB dari RS Paru Persahabatan, Rabu (22/10/2014).

Berbagai faktor tersebut membuat penanggulangan TB tidak pernah bisa optimal. Ketika seorang pasien tidak berobat, apalagi juga termasuk kategori MDR-TB, maka kuman yang ada dalam tubuhnya sangat berisiko menyebar lewat droplet atau bercak dahak yang keluar saat batuk.

"Mereka yang tidak berobat itu menjadi sumber penularan. Dan di masyarakat, sulit dikenali karena tidak semua bergejala," kata Dr Erlina.

(rsm/up)

Berita Terkait