Ya, studi yang dilakukan oleh para peneliti dari George Washington University ini dilakukan terhadap 200 responden pria berusia 20-77 tahun. Mereka diketahui tengah menjalani perawatan perbaikan kadar hormon testosteron.
Dalam studi ini tim peneliti melacak riwayat kesehatan para responden, termasuk penggunaan obat, tanda dan gejala hipogonadisme, dan gejala depresi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasilnya, tim menemukan adanya depresi atau gejala yang mengarah ke depresi pada sekitar 56 persen responden. Selain itu, seperempat dari responden dalam penelitian ini juga memiliki tingkat obesitas yang tinggi dan aktivitas fisik yang rendah.
Gejala yang paling umum adalah disfungsi ereksi, penurunan libido, ereksi pagi yang lebih jarang, kurang berenergi, dan gangguan tidur.
Peneliti utama Michael S. Irwig, MD, mengatakan bahwa temuan tidak hanya relevan untuk pria dengan tingkat rendah hormon testosteron, tetapi juga mereka yang berada dalam kisaran normal namun dalam batas rendah.
"Saat ini semakin jarang pria mau melakukan pemeriksaan hormon, termasuk hormon testosteron. Data yang ada masih sangat sedikit. Padahal kami merasa ini penting untuk mengeksplorasi, termasuk risiko depresi pada pria," tutur Irwig, yang sekaligus juga merupakan profesor di GW School of Medicine and Health Sciences, seperti dikutip dari berbagai sumber pada Rabu (22/7/2015).
Baca juga: Faktor Keturunan Jadi Penyebab Kebotakan Dini? Ah, Belum Tentu
(ajg/up)











































