Data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyebut 10 persen rumah tangga di Indonesia menyimpan obat antibiotik di rumah. Antibiotik jenis amoksisilin menjadi yang paling populer.
"Dari seluruh masyarakat yang menyimpan antibiotik di rumah, 83 persen di antaranya membeli tanpa resep dokter. 53 Persen masyarakat yang menyimpan antibiotik jenis amoksisilin, 12 persen menyimpan kotrimoksazol dan 7 persen menyimpan antibiotik anti amuba dan fungi," tutur peneliti Balitbangkes, Selma Siahaan, dalam seminar Cegah Resistensi Antibiotik di Balai Kartini, Jl Denpasar Raya, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (5/8/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
69 Persen masyarakat yang menyimpan antibiotik mengaku berasal dari obat resep yang tersisa. Sementara 31 Persennya menyimpan antibiotik sebagai obat persediaan jikalau anggota keluarga lain ada yang sakit.
Hasil lain mengatakan 40,91 persen masyarakat membeli antibiotik di apotek, dan sisanya membeli dari dokter atau pusat pelayanan kesehatan. Yang menarik 26,39 masyarakat ternyata membeli antibiotik dari warung kelontong atau toko obat eceran yang ada di pinggir jalan.
"Analisis kami mengatakan pengawasan distribusi obat antibiotik kurang berjalan, sehingga kurang terkontrol. Hal ini dibuktikan dari masyarakat yang ternyata bisa mendapatkan antibiotik secara bebas dan mudah di warung atau toko obat," papar Selma.
Selma menambahkan bahwa dalam rekomendasi penelitian, perlu ada payung hukum yang lebih tinggi sebagai kebijakan nasional tentang resistensi antibiotik. Misalnya dengan mengeluarkan perda (peraturan daerah) sehingga pengawasan akan berjalan lebih ketat.
"Rekomendasi lainnya antara lain melakukan edukasi kepada masyarakat, pengayaan kurikulum pendidikan bagi dokter, apoteker dan tenaga kesehatan lain serta memperkuat instrumen pengawasan terhadap distribusi antibiotika," pungkasnya.
Baca juga: Dolar Naik, Indonesia Waspadai Kenaikan Harga Obat
(mrs/vit)











































