Survei Litbangkes: Amoksisilin Jadi Antibiotik Paling Populer di Masyarakat

Survei Litbangkes: Amoksisilin Jadi Antibiotik Paling Populer di Masyarakat

Muhamad Reza Sulaiman - detikHealth
Rabu, 05 Agu 2015 19:30 WIB
Survei Litbangkes: Amoksisilin Jadi Antibiotik Paling Populer di Masyarakat
Foto: Thinkstock/AlexRaths
Jakarta - Penyalahgunaan dan penggunaan berlebihan obat antibiotik merupakan penyebab utama munculnya bakteri resisten. Hal ini diperkuat oleh data yang dimiliki oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI.

Data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyebut 10 persen rumah tangga di Indonesia menyimpan obat antibiotik di rumah. Antibiotik jenis amoksisilin menjadi yang paling populer.

"Dari seluruh masyarakat yang menyimpan antibiotik di rumah, 83 persen di antaranya membeli tanpa resep dokter. 53 Persen masyarakat yang menyimpan antibiotik jenis amoksisilin, 12 persen menyimpan kotrimoksazol dan 7 persen menyimpan antibiotik anti amuba dan fungi," tutur peneliti Balitbangkes, Selma Siahaan, dalam seminar Cegah Resistensi Antibiotik di Balai Kartini, Jl Denpasar Raya, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (5/8/2015).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain menjadi antibiotik yang paling banyak disimpan di rumah, amoksisilin juga menjadi obat antibiotik paling populer yang diresepkan dokter di puskesmas dan rumah sakit. Penelitian serupa yamh dilakukan pada tahun 2012 dan 2014 menunjukkan amoksisilin berada di peringkat pertama, di atas kotrimoksazol dan sefadroksil.

69 Persen masyarakat yang menyimpan antibiotik mengaku berasal dari obat resep yang tersisa. Sementara 31 Persennya menyimpan antibiotik sebagai obat persediaan jikalau anggota keluarga lain ada yang sakit.

Hasil lain mengatakan 40,91 persen masyarakat membeli antibiotik di apotek, dan sisanya membeli dari dokter atau pusat pelayanan kesehatan. Yang menarik 26,39 masyarakat ternyata membeli antibiotik dari warung kelontong atau toko obat eceran yang ada di pinggir jalan.

"Analisis kami mengatakan pengawasan distribusi obat antibiotik kurang berjalan, sehingga kurang terkontrol. Hal ini dibuktikan dari masyarakat yang ternyata bisa mendapatkan antibiotik secara bebas dan mudah di warung atau toko obat," papar Selma.

Selma menambahkan bahwa dalam rekomendasi penelitian, perlu ada payung hukum yang lebih tinggi sebagai kebijakan nasional tentang resistensi antibiotik. Misalnya dengan mengeluarkan perda (peraturan daerah) sehingga pengawasan akan berjalan lebih ketat.

"Rekomendasi lainnya antara lain melakukan edukasi kepada masyarakat, pengayaan kurikulum pendidikan bagi dokter, apoteker dan tenaga kesehatan lain serta memperkuat instrumen pengawasan terhadap distribusi antibiotika," pungkasnya.

Baca juga: Dolar Naik, Indonesia Waspadai Kenaikan Harga Obat

(mrs/vit)

Berita Terkait