Suami Meninggal Karena Demensia Langka, Helen Temukan Cara Deteksi Penyakitnya

Suami Meninggal Karena Demensia Langka, Helen Temukan Cara Deteksi Penyakitnya

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Selasa, 01 Sep 2015 14:40 WIB
Suami Meninggal Karena Demensia Langka, Helen Temukan Cara Deteksi Penyakitnya
Helen dan suaminya, Clive (Foto: Helen Beaumont)
Manchester - Suami Helen, Clive terserang salah satu jenis demensia langka yang disebut frontotemporal dementia (FTD) di usianya yang baru 45 tahun. Enam tahun kemudian atau pada tahun 1999, penyakit ini merenggut nyawa Clive.

Helen mengingat suaminya mulai berubah sejak diserang penyakit tersebut. Clive sering merasa terisolir dan kerap terlihat menarik-narik rambutnya sendiri. Suami Helen ini juga menjadi sangat pelupa dan perilakunya tak menentu hingga keduanya nyaris berpisah.

Banyak insiden yang membuat Helen makin bertanya-tanya. Clive pernah mengajak kedua anaknya jalan-jalan ke taman namun kembali hanya dengan putri sulungnya. Ketika ditanya, ia mengaku tak tahu, dan tak berapa lama seorang polisi datang membawa putra bungsu mereka pulang. Menurut keterangan si polisi, bocah ini dibiarkan jalan sendirian dan berakhir di sebuah taman bermain.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Begitu juga saat Helen meminta Clive berbelanja. Pulang-pulang Clive hanya membawa beberapa buah es krim. "Lama-lama ia menjadi pendiam dan tak bisa membaca. Padahal suami saya lulusan Oxford dan ia merancang amunisi untuk Angkatan Darat, tapi tiba-tiba saja kepandaiannya menurun dan saya tak tahu mengapa," tutur Helen.

Baca juga: Rocker ini Banting Setir Jadi Peneliti Demi Sembuhkan Putrinya

Ketika akhirnya suaminya meninggal karena penyakit itu, Helen tak mau tinggal diam. Kebetulan ia memiliki gelar di bidang fisika dan pernah bekerja di sebuah kelompok riset untuk Alzheimer. Sebagai seorang peneliti, ia merasa terpanggil untuk menguak misteri di balik penyakit tersebut.

Sebelum memulai penelitian, Helen mendapati fakta bahwa FTD sejatinya bukan jenis demensia yang lazim ditemukan. Kontribusinya hanya seperlima dari kasus demensia secara keseluruhan. Dari situ ia menduga 'kesalahan' bukan terletak pada perubahan kepribadian semata, tetapi struktur otaknya.

Untuk itu riset Helen murni hanya melihat gejala FTD dari hasil scan otak penderitanya. "Gejala seperti perubahan kepribadian atau sulitnya mereka melakukan kegiatan sehari-hari bisa dikaitkan dengan kondisi fisik atau mental lain, jadi ini tidak diperlukan," jelasnya.

Untuk keperluan riset, ia pun melibatkan 17 orang pengidap FTD dan 18 orang sehat. Ia menggunakan scan MRI untuk mendeteksi perbedaan otak pada kedua kelompok ini. Setelah hasil scan-nya didapat, Helen tak lantas bisa memahami 'gambar mentah' itu. Oleh karena itu ia mencoba 'menormalisasi' hasil scan yang ada dengan metode khusus.

Ibarat peta, proses normalisasi ini membuat seluruh gambaran otak yang didapat akan memiliki 'koordinat' yang sama. Dan dari situlah Helen baru bisa melakukan tes statistik untuk melihat perbedaan yang dicarinya tadi. Benar saja, Helen akhirnya menemukan bahwa ada yang berbeda dengan otak pasien FTD, terutama cairan yang ada di dalamnya.

Ibu dua anak itu berkesimpulan bahwa cairan otak pada pasien FTD jauh lebih banyak ketimbang orang tanpa demensia. "Bisa jadi karena sel-sel otaknya mati akibat FTD maka ruang yang ada di otak menjadi kosong dan terisi oleh cerebrospinal fluid (CFS)," paparnya seperti dikutip dari Daily Mail, Selasa (1/9/2015).

Namun menurut Helen, gambaran otak semacam ini hanya didapat pada pasien yang benar-benar sudah didiagnosis dengan FTD. Sedangkan dari pengalamannya merawat Clive, suaminya baru mendapat diagnosis empat tahun kemudian. "Jika saja kita bisa langsung mengetahui bahwa FTD membunuh sel-sel otak di awal munculnya gejala, mungkin kita tak perlu membuang-buang waktu," ujarnya.

Untuk itu, Helen saat ini sedang berupaya mengumpulkan dana agar metode deteksi dininya dapat diujicobakan pada mereka yang berpotensi mengidap FTD. Temuannya ini juga akan dipertahankan Helen sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar PhD di University of Manchester.

"FTD memang tidak ada obatnya, tapi apa yang dirasakan Clive saat ini bisa memberikan pencerahan. Saya berharap dengan temuan ini kita dapat mengembangkan obat baru untuk FTD, bahkan mungkin untuk jenis demensia lainnya," pungkasnya.

Baca jugaIngin Sembuhkan Anak, Ibu Ini Terus Mencari Obatnya Sampai Jadi Doktor (lll/up)

Berita Terkait