Diungkapkan sang bunda, Lia, mulai dari kemoterapi, operasi pengangkatan tumor, transplantasi sumsum tulang belakang, hingga radioterapi 20 kali sudah dijalani bocah tersebut. Setelah menjalani pengobatan intensif, Nara tetap semangat bersekolah. Namun, lima bulan pasca radioterapi terakhir, sel kanker kembali menyerang Nara.
"Scan terakhir menunjukkan kalau Nara relapsed, sel kankernya balik lagi dengan prognosis yang tidak terlalu baik. Saat itu kami bersyukur dapat tim dokter yang lumayan baik di mana kami diberi penjelasan ada dua pilihan yang bisa diambil," tutur Lia di sela-sela Konferensi Pers 'Memasyarakatkan Asuhan Paliatif, Meningkatkan Kualitas Hidup Insan Indonesia' di Ocha Bella Resto, Jl KH Wahid Hasyim, Jakarta, Selasa (13/10/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan berbagai pertimbangan, Lia dan keluarga akhirnya memilih perawatan paliatif. Meksipun, kala itu tak menutup kemungkinan orang sekitar akan berpikir hal lain terkait keputusan yang diambil oleh Lia sekeluarga.
"Bisa saja ada pemikiran orang tua berhenti melakukan upaya pengobatan untuk anaknya, kita ini orang tua seperti apa. Tapi dengan pertimbangan yang masuk akal akhirnya kami memilih perawatan paliatif. Menjalani treatment pasti sangat berat bagi Nara. Untuk itu, kami memutuskan untuk celebrating a life. Salah satunya memberi kehidupan normal bagi Nara supaya hidupnya seperti anak-anak seusianya," terang Lia.
Sejak saat itu pun, di tahun 2008 Lia bergabung dengan Rachel House. Dengan asuhan paliatif yang didapat dari Rachel House, Lia merasa ketika ada gejala yang dialami Nara, ia bisa berkonsultasi dengan perawat. Dengan kata lain, ada tempat bagi Lia untuk bertanya dan ngobrol.
Baca juga: Jangan Batasi Aktivitas Anak yang Masih Semangat Meski Sakit Kronis
Sebab, menurut Lia tidak hanya fisik pasien atau keluarga saja yang penting dijaga tetapi juga psikososialnya. Apalagi, kala itu di tahun 2010-2011 akses morfin cukup sulit. Padahal, untuk menjalani hidup dengan less pain, penggunaan morfin dikatakan Lia merupakan suatu keharusan.
"Alhamdulillah dengan peace of mind, keseharian Nara bisa mendekati anak lainnya, dia tetap sekolah. Meskipun saya sendiri juga nggak gampang mencari sekolah yang mau menerima kondisi Nara yang sakit. Tapi waktu itu dengan bantuan dokter yang merawat Nara, anak saya diberi kemudahan untuk sekolah," lanjut Lia.
Di tahun 2011, si kecil Nara kembali ke pangkuan Tuhan. Namun, Lia merasa bersyukur di sisa hidup Nara, putrinya itu bisa merasakan kehidupan normal layaknya anak-anak sebayanya. Berangkat dari pengalamannya, Lia menekankan agar anak dengan penyakit kronis seperti kanker bisa menjalani kehidupan normal, perlu dukungan semua pihak.
Sekolah, tetangga, dan anggota keluarga lain dikatakan Lia perlu sama-sama memahami perbedaan kasihan dan empati pada anak yang sakit. Kasihan, menurut Lia tidak sehat untuk anak. Namun, berbeda jika empati yang diungkapkan orang di sekitar. Dengan empati, orang lain bisa memberi dukungan bagi si anak.
Salah satu perawat di Rumah Rachel, Rina Wahyuni mengatakan asuhan paliatif bukan berarti tidak ada tindakan medis pada Nara. Rekan Rina yang kebetulan mendampingi Nara menuturkan jika mata Nara terasa nyeri dan membesar, dilakukan tindakan radioterapi paliatif guna mengelola nyeri yang dirasakan. Atau, dilakukan juga kemoterapi dengan dosis obat setengah.
"Bahkan saat itu teman saya, perawatnya Nara ini mau nikah. Nara ngasih wedding card gitu dia gambar barbie sama si prince-nya. Karena kan kebetulan Nara suka painting ya apalagi yang bertema rainbow gitu. Itu luar biasa sekali lho. Makanya, dengan asuhan paliatif, seperti Nara ini, dia tetap bisa sekolah, tetap bisa berkarya kan," tutur Rina.
Baca juga: Belum Tentu Neuroblastoma, Tapi Jangan Sepelekan Bobot Anak yang Menurun
(rdn/up)











































