Menristek Dikti, M. Nasir mengatakan saat ini 90 persen kebutuhan bahan baku obat di Indonesia masih mengimpor dari luar negeri. Hal ini membuat harga obat menjadi mahal dan akhirnya memberatkan pemerintah.
"Kami melihat 90 persen bahan baku obat di Indonesia masih impor. Oleh karena itu kami dari Kemenristek Dikti mendorong peneliti untuk mampu melakukan scale-up dengan cara mengembangkan bio diversitas (bahan baku obat) di Indonesia," tutur Nasir, ditemui usai pembukaan pameran pembangunan kesehatan 2015 di JI Expo, Kemayoran, Jakarta, Jumat (13/11/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nasir mengatakan bahwa dengan adanya BPJS dan JKN, beban negara akan semakin besar jika bahan baku obat masih harus diimpor. Diharapkan dengan adanya kerjasama ini, peneliti mampu mengembangkan bahan baku obat lokal sehingga obat semakin murah dan tak lagi memberatkan pemerintah.
"Karena itu kerjasama dengan Kemenkes menjadi penting sekali. Kalau obat di scale-up, bisa bantu BPJS untuk pemenuhan obat dalam negeri. Jangan sampai pemenuhan obat harus impor karena akan memberatkan beban negara," paparnya.
Scale-up dilakukan dengan bantuan Kemenkes. Kemenkes akan mengirimkan obat-obat apa saja yang dibutuhkan dan Kemenristek Dikti akan mendorong peneliti untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Baca juga: Kata Dokter Ahli Tentang Obat Herbal untuk Kontrol Gula Darah
Salah satu contoh pengobatan yang sedang dikembangkan adalah radioisotop untuk pengobatan kanker. Dikatakan Nasir, pengobatan kanker dengan menggunakan radioisotop sudah banyak dilakukan di luar negeri.
"Nah ini sedang kita kembangkan dengan BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional). Rencananya tahun 2016 atau 2017 sudah bisa dipasarkan dan digunakan oleh masyarakat," pungkasnya. (mrs/vit)











































