Dua tahun silam, perilaku BAB sembarangan masih menjadi masalah serius di Kampung Manda, Distrik Bugi, Wamena. Bukan lagi di kali atau air mengalir, warga melakukan BAB di kebun atau di hutan. Akibatnya, anak-anak banyak terserang diare pada masa itu.
Tidak mudah untuk mengubah perilaku tersebut. Salah satu kendalanya adalah soal fasilitas. Di wilayah tersebut, harga satu sak semen mencapai Rp 800 ribu. Belum lagi pipa dan material lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalah pertama ini teratasi berkat kegigihan Yali dan rekan-rekan relawan. Dengan menggunakan bahan-bahan yang diambil dari hutan, akhirnya semua warga punya jamban. Sebagai pengganti semen, mereka menggunakan abu sisa pembakaran dicampur air panas. Butuh waktu tiga hari agar semen jadi-jadian ini mengeras, tapi hasilnya memuaskan.
Masalah berikutnya, faktor kebiasaan menjadi yang paling berat untuk diubah. Meski sudah punya jamban, banyak warga masih tetap BAB di hutan maupun semak-semak.
Mau tidak mau, Yali menggunakan sedikit unsur 'pemaksaan'. Bekerja sama dengan para pendeta yang memang punya pengaruh kuat, ia membuat patroli keliling untuk mendeteksi perilaku BAB sembarangan. Bagi yang ketahuan, dikenai denda yang jumlahnya tak sedikit.
"Dendanya satu orang Rp 300 ribu," kata Yali.
Di awal-awal penerapan denda, lebih dari Rp 1 juta terkumpul dari denda yang dibayarkan oleh warga yang bandel. Namun menurut Yali, dengan pendekatan yang terus menerus, kini 100 persen warga di kampungnya sudah BAB di jamban.
Hingga kini Yali dan rekan-rekannya telah membangun 83 jamban, tidak hanya di kampungnya sendiri tetapi juga 2 kampung lainnya. Di Papua sendiri, secara umum data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) menunjukkan baru 30 persen warga yang mempunyai akses sanitasi yang layak, termasuk BAB di jamban.
(up/vit)











































